Hukum

Bongkar Megakorupsi Timah, Kejagung Periksa Istri dan Anak Bos Sriwijaya Air

Published

on

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan, untuk membongkar megakorupsi timah, penyidik memeriksa anak dan istri tersangka Hendry Lie. (Wartahotnews/Dok. Kejagung)

Jakarta –‎ ‎Kejaksaan Agung (Kejagung) terus membongkar megakorupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015–2022 yang membelit 5 tersangka korporasi.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, di Jakarta, Kamis, (9/4/2025), mengatakan, untuk membongkar megakorupsi ini, pasca-Lebaran, penyidik memeriksa dua orang.

Adapun kedua orang yang diperiksa sebagai saksi pada Selasa, (8/4/2025), adalah anak dan istri dari pemilik maskapai Sriwijaya Air dan beneficial ownership PT Tinindo Internusa, Hendry Lie.

“CL selaku anak tersangka HL [Hendry Lie] dan ‎LL selaku istri tersangka HL,” ujarnya.

Penyidik memeriksa mereka sebagai saksi dalam kasus megakorupsi tata kelola komoditas timah untuk 5 tersangka korporasi.

“Saksi tersangka korporasi Refined Bangka Tin dkk,” ujarnya.

Lebih lanjut Harli menyampaikan, ‎pemeriksaan kedua orang saksi di atas dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara megakorupsi tersebut.

Sebelumnya, Kejagung menetapkan 5 korporasi sebagai tersangka megakorupsi timah, yakni PT Refined Bangka Tin (PT RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (PT SIP), PTTinindo Inter Nusa (PT TIN)‎, PT Sariwiguna Binasentosa (PT SBS), dan CV Venus Inti Perkasa (CV VIP).

Harli mengungkapkan, kasus ini berawal dari diterbitkannya Persetujuan Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) kepada 5 (lima) perusahaan pemurnian dan pengolahan timah (Smelter). 

Persetujuan tersebut diterbitkan ‎pada 2015 oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk lima smleter.

Adapun kelima smelter timah itu milik PT RBT, PT SBS, PT SIP, PT TIN, dan CV VIP yang berlokasi di Bangka Belitung. RKAB untuk kelima smelter itu diterbitkan secara tidak sah karena tidak memenuhi persyaratan.

Penerbitan RKAB tersebut tetap dilanjutkan oleh Rusbani (RBN) sewaktu menjabat Plt. Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan oleh Amir Syahbana (AS) selaku Plt. Kepala Dinas ESDM Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 2019.

“Bahkan SW, BN, dan AS mengetahui bahwa RKAB tersebut tidak dipergunakan untuk menambang di lokasi IUP yang dimiliki perusahaan smelter itu sendiri, melainkan hanya untuk melegalkan penjualan timah yang diperoleh secara ilegal dari IUP PT Timah,” ujarnya.

‎Selanjutnya kegiatan ilegal tersebut disetujui dan dibalut Direktur Utama (Dirut) PT Timah, Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani; 

dan ‎Direktur Keuangan PT Timah Tbk., Emil Ermindra (EE); dengan perjanjian seolah-olah ada kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan PT Timah.

‎‎Perbuatan jajaran oknum Direksi PT Timah pada kurun waktu 2018-2019 yang melakukan persekongkolan dengan para smelter atau PT RBT, PT SBS, PT SIP, PT TIN, dan CV VIP untuk mengakomodir penambangan timah illegal di wilayah IUP PT Timah.

“Ini dibungkus seolah-olah kesepakatan kerja sama sewa menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah telah mengakibatkan kerugian keuangan negara c.q. PT Timah,” ujarnya.

‎Ulah mereka itu merugikan keuangan negara sebagaimana hasil perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yakni sebesar Rp300.003.263.938.131,14 (Rp300,003 triliun).

Kerugian keuangan negara Rp300,003 triliun itu terdiri dari Kerugian Negara atas aktivitas Kerja Sama Sewa Menyewa Alat Peralatan Processing Penglogaman dengan Smelter Swasta sebesar Rp2.284.950.217.912,14 (Rp2,2 triliun).

‎‎Kemudian, Kerugian Negara atas pembayaran bijih timah kepada mitra tambang PT Timah sebesar Rp26.648.625.701.519 (Rp26,6 triliun) dan Kerugian lingkungan sebesar Rp271.069.688.018.700 (Rp271 triliun).

Harli menjelaskan, kerugian lingkungan ini merupakan akibat pengambilan biji timah yang dilakukan para smelter/swasta di wilayah IUP PT Timah secara ilegal sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.

“Tanggung jawab pemulihannya menjadi kewajiban PT Timah selaku pemegang IUP,” katanya.

Atas ulah itu, Kejagung menyangka PT RBT, PT SIP, PT TIN), PT SBS, dan CV VIP melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.‎

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version