Hukum

Empat Profesor Soroti Beberapa Poin KUHP Baru

Published

on

Empat profesor menyampaikan benerapa poin yang menjadi sorotannya dalam KUHP baru. (Wartahot.news/Iwan)

Jakarta –‎ Empat profesor menyoroti beberapa poin KUHP baru yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026 dalam seminar nasional gelaran DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar)-Universitas Al Azhar Indonesia (UAI).

Salah satu poin ‎dalam seminar bertajuk “Kesiapan Advokat & Penegak Hukum dalam Pemberlakuan KUHP Baru pada 2 Januari 2023” ‎yang menjadi sorotan adalah ketentuan pencemaran terhadap Kepala Negara.

Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Prof. Topo Santoso, dalam seminar nasional yang dihelat di UAI, Jakarta‎, Sabtu, (24/5/2025), mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu bukan terkait dengan UU KUHP, tetapi itu untuk UU ITE.

Setelah UU KUHP berlaku mulai 2 Januari 2026, kata dia, kemudian kalau ada orang yang tidak setuju dengan isi pasal soal pencemaran terhadap kepala negara, bisa menggugatnya ke MK.

“Karena objeknya, pasalnya beda. Jadi itu terbuka didugat di MK,” ujarnya.

Adapun Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (Waka PT) Riau, Prof. Syahlan, menyoroti Pasal 54 KUHP baru soal pemaafan hakim‎.

‎Prof Syahlan menilai pasal ini sangat krusial dan semua elemen akan menperhatikannya bagaimana hakim memberikan pemaafan kepada terdakwa.

“Ini krusial sekali, di fondasi hukum kita bahwa setiap orang bersalah itu harus dihukum, tapi [di KUHP baru] ini harus dimaafkan,” ujarnya.

Tentunya, ada kriteria-kriteria untuk hakim bisa memberikan pemaafan sebagaimana rumusan pasal tersebut, di antaranya tindak pidana ringan. Tindak pidana korupsi tidak masuk kategori ini.

“‎Jadi tidak bisa semua bisa kita [hakim] maafkan. Apalagi kalau sudah 3 kali [melakukan pidana] tidak bisa dimaafkan,” ujarnya.

‎Adapun Guru Besar UAI, ‎Prof. Suparji Ahmad‎, menjelaskan bahwa tidak semua penuntutan bisa gugur dalam KUHP baru. Pada Pasal 132, pidana yang diancam pada kategori 2, misalnya dendanya Rp10 juta atau kategori 4 misalnya Rp40 juta.

‎“Dalam KUHP baru ini, salah satu bentuk sanksinya adalah berupa denda dengan kategori 1 sampai dengan 6 dan sebagainya, seandainya dibayar maka kemudian kita akan menghentikan proses penuntutan,” katanya.

Sedangkan Guru Besar Universitas Andalas (Unand), Prof. Elwi Danil, merespons soal kekhawatiran kekosongan hukum kalau UU Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru belum disahkan saat UU KUHP mulai berlaku. 

“Kita tim sedang berpacu dengan waktu untuk sesegera mungkin menyelesaikan tahapan-tahapan agar KUHAP itu disahkan bersamaan dengan KUHP baru, sehingga tidak terjadi ‎kekosongan hukum,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version