Hukum
Ini Sosok di Balik Suap Fantastis Rp60 Miliar
Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 8 orang tersangka kasus suap Rp60 miliar pengurusan vonis bebas perkara korupsi Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Lantas siapa inisiator suap terbilang fantastis tersebut? Direktur Penyidikan Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Selasa malam, (15/4/2025), mengungkap sosoknya.
Menurut dia, berdasarkan hasil penyidikan hingga saat ini, inisiator suap Rp60 miliar tersebut adalah Wahyu Gunawan yang saat ini menjadi Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara (Jakut).
“Fakta yang kami peroleh bahwa inisiatif dari Wahyu. Itu dalam perkara ini,” ujarnya.
Namun demikian, Wahyu Gunawan adalah orang kepercayaan dari Muhammad Arif Nuryanta yang kala itu menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat (Jakpus) dan kini menjabat ketua PN Jaksel.
“WG [Wahyu Gunawan] waktu itu panitera, orang kepercayaan dari MAN [Muhammad Arif Nuryanta],” ujar Qohar.
Awalnya, Kejagung menetapkan Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit bulan Januari 2021–April 2022.
Permata Hijau Group ini terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Sedangkan Wilmar Group terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Adapun Musim Mas Group terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
Kasus dugaan korupsi tersebut kemudian bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian menuntut terdakwa korporasi Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group tersebut dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp1 miliar.
Selain itu, dijatuhkan pidana tambahan kepada Permata Hijau Group untuk membayar uang pengganti sebesar Rp937.558.181.691, Wilmar Group Rp11.880.351.802.699, dan Musim Mas Group Rp4.890.938.943.94,1.
JPU menilai korporasi tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi tersebut secara besama-sama sebagaimana dakwaan primer.
Mereka dinillai terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian menyatakan bahwa para terdakwa korporasi terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan JPU.
“Akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana oleh majelis hakim Pengendalian Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Qohar.
Kejagung mencium aroma tidak beres atas putusan atau vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging) yang diketok oleh majelis hakim yang terdiri Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Qohar mengungkapkan, vonis lepas (ontslag) tersebut bermula dari adanya kesepakatan antara Ariyanto selaku pengacara terdakwa korporasi minyak goreng dengan Wahyu Gunawan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi dan bukti diperoleh fakta bahwa suap dan atau gratifikasi Rp60 miliar ini bermula dari adanya pertemuan antara pengacara Ariyanto dan panitera Wahyu Gunawan.
Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Dalam pertemuan tersebut Wahyu Gunawan juga menanyakan terkait biaya yang disediakan terdakwa korporasi. Namun tersangka Ariyanto belum bisa menjawab karena hal tersebut harus ditanyakan terlebih dahulu kepada kliennya.
“Informasi yang diperoleh dari tersangka WG tersebut oleh tersangka AR disampaikan kepada tersangka MS [Marcella Santoso],” ujarnya.
Marcella Santoso yang merupakan advokat bertemu dengan Muhammad Syafei di rumah makan Daun Muda di daerah Jakarta Selatan (Jaksel). Dalam pertemuan tersebut, Marcella Santoso menyampaikan perihal informasi yang diperoleh Ariyanto dari Wahyu Gunawan.
Marcella Santoso mengatakan bahwa Wahyu Gunawan bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya.
“Mendapati informasi tersebut, MSY [Muhammad Syafei] menyampaikan bahwa sudah ada tim yang mengurusnya,” ujar Qohar.
Sekitar 2 pekan kemudian, tersangka Ariyanto dihubungi kembali oleh tersangka Wahyu Gunawan. Pada saat itu, Wahyu Gunawa menyampaikan agar perkara ini segera diurus.
Setelah mendapat pemberitahuan tersebut, kemudian Ariyanto menyampaikan kepada Marcella Santoso. Lantas, Macella bertemu lagi dengan Muhammad Syafei di rumah makan Daun Muda.
“Saat itu, MSY [Muhammad Syafei]
memberitahukan bahwa biaya yang disediakan pihak korporasi sebesar Rp20 miliar untuk mendapatkan putusan bebas,” katanya.
Menindaklanjuti hasil pertemuan tesebut, Ariyanto, Wahu Gunawan, dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Muhammad Arif Nuryanta, bertemu di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur (Jaktim).
Dalam pertemuan tersebut, Muhammad Arif Nuryanta mengatakan, perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas melainkan ontslag. Dia juga meminta agar uang Rp20 miliar tersebut dikali 3 sehingga total menjadi Rp60 miliar.
“Kemudian WG [Wahyu Gunawan] menyampaikan kepada Ariyanto agar menyiapkan uang sebesar Rp60 miliar,” ujarnya.
Setelah ada permintaan dari Wahyu Gunawan tersebut, Ariyanto lantas menyampaikannya kepada Marcella Santoso. Selanjutnya Marcella menghubungi Muhammad Syafei.
“MSY [Muhammad Syafei] menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam mata uang asing SGD atau USD,” katanya.
Sekitar 3 hari kemudian, Muhammad Syafei menghubungi Marcella dan menyampaikan bahwa uang yang diminta sudah siap. Dia juga menanyakan lokasi uang tersebut akan diantarkan.
“Selanjutnya tersangka MS [Macella Santoso] memberikan nomor handphone tersangka AR [Ariyanto] kepada MSY [Muhammad Syafei],” katanya.
Setelah ada komunikasi antara Ariyanto dan Muhammad Syafei, kemudian mereka bertemu di parkiran SCBD. Muhammad Syafei selanjutnya menyerahkan uang tersebut kepada Ariyanto.
Ariyanto lantas mengantar uang tersebut ke rumah Wahyu Gunawan di Klaster Ebony, JI. Ebony 6, Blok AE No. 28, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.
Wahyu Gunawan selantutnya menyerahkan uang tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta (MAN). Wahyu Gunawan diberikan uang sebesar US$ 50.000 oleh Muhammad Arif Nuryanta.
Setelah menerima uang setara Rp60 miliar, Muhammad Arif Nuryanta menunjuk Ketua Majelis Hakim yaitu Djuyamto, serta Hakim Ad Hoc Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharuddin sebagai hakim anggota untuk menyidangkan perkara korupsi 3 korporasi tersebut.
Setelah terbit penetapan sidang, Muhammad Arif Nuryanto memanggil Djuyamto dan Agam Syarif Baharuddin dan memberikan uang setara Rp4,5 miliar.
“Dengan tujuan untuk uang baca berkas perkara dan agar perkara tersebut diatensi,” ucapnya.
Uang setara Rp4,5 miliar itu dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh Agam Syarif Baharuddin kemudian dibagikan kepada 3 hakim yang menangani perkara korupsi korupsi 3 korporasi tersebut, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Setelah itu, pada sekira bulan September atau Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan kembali uang dolar Amerika yang setara Rp18 miliar kepada Djuyamto.
“Kemudian oleh DJU [Djuyamto] dibagi 3 di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Selatan,” ujarnya.
Porsi pembagiannya yakni Agam Syarif Baharuddin mendapat setara Rp4,5 miliar, Djuyamto setara Rp6 miliar yang dari jatah ini Djuyamto memberikan Rp300 juta panitera, serta Ali Muhtarom setara Rp5 miliar.
“Sehingga total seluruhnya yang diterima Rp22 miliar,” kata Qohar.
Ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut, yakni agar perkara tersebut diputus ontslag dan pada tanggal 19 Maret 2025 perkara tersebut diputus ontslag.
Kejagung lantas menelisik putusan atau vonis janggal majelis hakim. Lalu melakukan penyelidikan dan ditingkatkan ke tahap penyidikan setelah menemukan bukti permulaan yang cukup.
Singkat cerita, Kejagung menetapkan 8 orang tersangka dan telah menahan mereka. Awalnya, Kejagung menetapkan 4 tersangka di antaranya Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel) yang sebelumnya Wakil Ketua PN Jakpus, Muhammad Arif Nuryanta.
Kemudian, Panitera Muda Perdata pada PN Jakarta Utara (Jakut), Wahyu Gunawan; dan dua orang advokat atau pengacara, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto.
Setelah itu, Kejagung menambah 3 orang tersangka dari kalangan hakim PN Jakpus yang memutus bebas ketiga terdakwa korporasi tersebut, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Teranyar, penyidik Pidsus Kejagung menetapkan Head of Social Security Legal PT Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY), sebagai tersangka.
Adapun peran para tersangka yakni, advokat atau pengacara Ariyanto, Marcella Santoso, dan Muhammad Syafei selaku pemberi suap setara Rp60 miliar. Sedangkan Muhammad Arif Nuryanta, Wahyu Gunawan, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom selaku penerima suap.
Kejagung menyangka Marcella Santoso, Ariyanto, dan Muhammad Syafei melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 Ayat (1) juncto Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian Muhammad Arif Nuryanta disangka melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom disangka melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 B juncto Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.Sedangkan Wahyu Gunawan disangka melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Pasal 11 juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.