Infotainment
Putusan Hakim Yang Menyebut Paula Verhoeven “Istri Durhaka” di Kritik Praktisi Hukum Agus Susanto,S.H.,M.H
Jakarta – Polemik perceraian antara aktor dan YouTuber Baim Wong dengan sang istri, Paula Verhoeven, kembali menyita perhatian publik usai sidang putusan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa Paula telah terbukti melakukan nusyuz atau membangkang terhadap suaminya—istilah yang dalam konteks hukum Islam kerap dikaitkan dengan “kedurhakaan” seorang istri.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh kuasa hukum Baim Wong, Fahmi Bachmid, dalam konferensi pers usai sidang.
“Di sini di halaman sekian itu dikatakan terbukti nusyuz. Nusyuz artinya orang yang durhaka kepada suaminya,” ujar Fahmi, seperti dikutip dari kanal YouTube SelebTubeTV.
Fahmi juga mengungkap bahwa hakim mendasarkan putusan pada sejumlah fakta persidangan yang menunjukkan adanya kedekatan Paula dengan pria lain yang bukan mahramnya.
“Majelis hakim memandang bahwa termohon telah terbukti nusyuz kepada pemohon… berdasarkan fakta-fakta persidangan di mana termohon intens berhubungan dengan seseorang laki-laki yang bukan muhrimnya baik secara langsung maupun menggunakan media, bepergian berdua dan seterusnya,” imbuh Fahmi.
Reaksi dan Kritik Praktisi Hukum
Pernyataan hakim yang memasukkan istilah “durhaka” dalam pertimbangan hukumnya menuai kritik dari kalangan praktisi hukum. Salah satunya datang dari pengacara dan pakar hukum keluarga, Agus Susanto, SH, MH, yang menilai bahwa hakim telah melampaui batas etis dan profesionalnya.
“Sebenarnya tidak boleh hakim bicara seperti itu. Hakim mempunyai kode etik, dan tugasnya adalah memutus perkara berdasarkan bukti persidangan dan hukum yang berlaku, bukan menghakimi pribadi seseorang,” tegas Agus.
Agus menambahkan bahwa istilah “durhaka” bernuansa moral dan subjektif, dan tidak selayaknya dimasukkan dalam putusan hukum formal yang seharusnya netral dan berbasis bukti.
Etika dan Kode Perilaku Hakim dalam Sorotan
Pernyataan kontroversial hakim dalam kasus ini turut menyoroti pentingnya kode etik hakim sebagai pedoman perilaku dalam menjalankan fungsi peradilan. Dalam pedoman resmi, terdapat sejumlah prinsip utama yang harus dijunjung tinggi oleh seorang hakim, antara lain:
Bersikap Adil: Memberikan perlakuan yang sama kepada semua pihak.
Bersikap Jujur: Menyampaikan fakta dan pendapat tanpa manipulasi.
Arif dan Bijaksana: Mengambil keputusan dengan pertimbangan yang mendalam dan tanpa prasangka.
Mandiri dan Bebas Tekanan: Tidak dipengaruhi oleh tekanan pihak luar.
Berintegritas Tinggi: Tidak menyalahgunakan wewenang dan menjunjung prinsip keadilan.
Agus Susanto menekankan bahwa penyematan label moral seperti “durhaka” berpotensi menciderai prinsip-prinsip tersebut, dan mengaburkan objektivitas dalam proses hukum.
“Hakim seharusnya menjaga martabat peradilan dengan mengedepankan asas keadilan, bukan memperkeruh suasana dengan label yang bersifat emosional dan menyudutkan salah satu pihak,” pungkasnya.
Respons Publik Menanti
Hingga berita ini diturunkan, pihak Paula Verhoeven belum memberikan tanggapan resmi terkait putusan maupun pernyataan Fahmi Bachmid. Namun, di tengah sorotan publik dan tekanan media sosial, berbagai pihak berharap bahwa proses hukum dapat berjalan secara adil, profesional, dan menjunjung tinggi martabat semua pihak yang terlibat.***