Hukum

Delapan Tersangka Berakting dalam Lakon Suap Rp60 Miliar

Published

on

Pera tersangka suap Rp60 miliar beradu akting dalam rekonstruksi yang digelar Kejagung. (Wartahot.news/Dok. Kejagung)

Jakarta – ‎‎Delapan tersangka beradu akting memerankan ulahnya dalam “lakon” suap Rp60 miliar pengurusan vonis lepas 3 terdakwa korupsi ekspor CPO dalam reka ulang atau rekonstruksi yang digelar Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung.

“Rekonstruksi tersebut digelar sebagaimana fakta-fakta,”‎ kata Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) ‎di Jakarta, Senin, (28/4/2025).

Adapun 8 orang tersangka yang memeragakan aksinya masing-masing dalam pemberian dan penerimaan suap dan atau gratifikasi setara Rp60 miliar itu, di antaranya advokat Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso.

‎Kemudian, Panitera Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) dan Wahyu Gunawan; Wakil Ketua PN Jakarta Pusat (Jakpus), Muhammad Arif Nuryanta.

Selanjutnya, ‎3 hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada PN Jakpus yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom serta Head of Social Security Legal PT Wilmar Group, Muhammad Syafei.

Harli menyampaikan, mereka memerankan perannya masing-masing sesuai fakta penyidikan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP)-nya dan para saksi.

Ia mengungkapkan, rekonstruksi tersebut untuk memperoleh persesuaian keterangan para tersangka satu dengan lainnya sebagai alat bukti petunjuk.

“Oleh karenanya, penydik dengan disaksikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengelar rekonstruksi tindak pidana,” katanya.

Adapun agenda gelar rekonstruksi tersebut, lanjut Hari, berkaitan dengan perkembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi suap dan atau gratifikasi Rp60 miliar terkait penanganan perkara di PN Jakpus dan penyidikan dugaan tindak pidana perintangan terhadap penanganan perkara tersebut.

“Rekonstruksi dalam penyidikan tindak pidana adalah kegiatan memperagakan kembali bagaimana tersangka melakukan tindak pidana,” katanya.

Tujuannya, ujar Harli, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang peristiwa yang terjadi, membantu penyidik dalam mengungkap kasus dan melengkapi berkas perkara.

Rekonstruksi juga merupakan salah satu teknik yang digunakan oleh penyidik untuk memeriksa kebenaran keterangan yang diberikan oleh tersangka dan saksi.

Suap atau gratifikasi Rp60 miliar ini terkait vonis lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag) dalam perkara korupsi ekspor CPO yang membelit 3 terdakwa korporasi, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus.

Wahyu Gunawan awalnya menyampaikan kepada Ariyanto Bakri agar mengurus vonis supaya tidak diputus sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

JPU menuntut ‎Tim Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp1 miliar serta pidana tambahan, yakni Permata Hijau Group membayar uang pengganti Rp937.558.181.691, Wilmar Group Rp11.880.351.802.699, dan Musim Mas Group Rp4.890.938.943.94,1.

JPU menilai korporasi tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi tersebut secara besama-sama sebagaimana dakwaan primer.

Mereka dinillai terbukti‎ melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

‎Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian menyatakan bahwa para terdakwa korporasi terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan JPU.

“Akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana oleh majelis hakim Pengendalian Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Pidana Khusus (Pidsus Kejagung).

Kejagung mencium aroma tidak beres atas putusan atau vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging‎) yang diketok oleh majelis hakim yang terdiri Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.‎

Qohar mengungkapkan, vonis lepas (ontslag) tersebut ‎bermula adanya kesepakatan antara tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi minyak goreng dengan tersangka Wahyu Gunawan yang kini menjadi panitera muda perdata PN Jakut.

‎Kesepakatan antara Ariyanto dan Wahyu Gunawan untuk mengurus perkara korupsi 3 korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus ontslag.

Untuk mengurus vonis perkara terdakwa Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group disiapkan uang sejumlah Rp20 miliar.

Wahyu Gunawan kemudian menyampaikan kesepakatan tersebut kepada Wakil Ketua PN Jakpus yang saat ini menjabat Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta.

Wahyu yang merupakan orang kepercayaan Muhammad Arif Nuryanta ini meminta agar perkara ketiga korporasi tersebut diputus ontslag.

Muhammad Arif Nuryanta menyetujui permintaan agar perkara korupsi tersebut diputus onslag namun ia meminta agar uang Rp20 miliar itu dikali 3 sehingga totalnya menjadi Rp60 miliar.

“Kemudian tersangka WG [Wahyu Gunawan] menyampaikan kepada tersangka AR [Ariyanto] agar menyiapkan uang sebesar Rp60miliar dan menyetujui permintaan tersebut,” katanya.

Ariyanto kemudian ‎menyerahkan uang Rp60 miliar dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat (US$) kepada Wahyu Gunawan, lalu uang tersebut diserahkan kepada Muhammad Arif Nuryanta. 

“Dari kesepakatan tersebut, tersangka WG [Wahyu Gunawan] mendapatkan US$50.000 sebagai jasa penghubung dari tersangka MAN [Muhammad Arif Nuryanta],” ujar Qohar.

Setelah menerima uang setara Rp60 miliar, Muhammad Arif Nuryanta ‎menunjuk Ketua Majelis Hakim yaitu Djuyamto, serta Hakim Ad Hoc Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharuddin sebagai hakim anggota untuk menyidangkan perkara korupsi 3 korporasi tersebut.

‎Setelah terbit penetapan sidang, tersangka Muhammad Arif Nuryanto memanggil Djuyamto dan Agam Syarif Baharuddin dan memberikan uang setara Rp4,5 miliar.

‎“Dengan tujuan untuk uang baca berkas perkara dan agar perkara tersebut diatensi,” ucapnya.

‎Uang setara Rp4,5 miliar itu dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh Agam Syarif Baharuddin kemudian dibagikan kepada 3 hakim yang menangani perkara korupsi korupsi 3 korporasi tersebut, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. 

Setelah itu, ‎pada sekira bulan September atau Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan kembali uang dolar Amerika yang setara Rp18 miliar kepada Djuyamto.

“Kemudian oleh DJU [Djuyamto] dibagi 3 di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Selatan,” ujarnya.

Porsi pembagiannya yakni ‎Agam Syarif Baharuddin mendapat setara Rp4,5 miliar, Djuyamto setara Rp6 miliar yang dari jatah ini Djuyamto memberikan Rp300 juta panitera, serta Ali Muhtarom setara Rp5 miliar.

“Sehingga total seluruhnya yang diterima Rp22 miliar,” kata Qohar.

Ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut, yakni agar perkara tersebut diputus ontslag dan pada tanggal 19 Maret 2025 perkara tersebut diputus ontslag.

Kejagung lantas menelisik putusan atau vonis janggal majelis hakim. Lalu melakukan penyelidikan dan ditingkatkan ke tahap penyidikan setelah menemukan bukti permulaan yang cukup.

Singkat cerita, Kejagung menetapkan 8 orang tersangka dan telah menahan mereka. Awalnya, Kejagung menetapkan 4 tersangka di antaranya Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel) yang sebelumnya Wakil Ketua PN Jakpus, Muhammad Arif Nuryanta.

Kemudian, Panitera Muda Perdata pada PN Jakarta Utara (Jakut), Wahyu Gunawan; dan dua orang advokat atau pengacara, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto.

Selanjutnya, Kejagung menambah 3 orang tersangka dari kalangan hakim PN Jakpus yang memutus bebas ketiga terdakwa korporasi tersebut, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. ‎Terus, Head of Social Security Legal PT Wilmar Group, Muhammad Syafei.

Adapun peran para tersangka yakni advokat atau pengacara Ariyanto dan Marcella Santoso serta Muhammad Syafei‎ selaku pemberi suap setara Rp60 miliar. Uang itu dari korporasi. 

Sedangkan Muhammad Arif Nuryanta, Wahyu Gunawan, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom dari pihak peradilan selaku penerima suap.

Kejagung menyangka Marcella Santoso, Ariyanto, Muhammaf Syafei melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 Ayat (1) juncto Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Kemudian Muhammad Arif Nuryanta disangka melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Adapun Djuyamto,‎ Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom disangka melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 B juncto Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Wahyu Gunawan disangka melanggar ‎Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Pasal 11 juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.‎‎

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version