Ekonomi
Kejagung Tahan Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta terkait Suap Rp60 Miliar
Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) menahan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta, tersangka kasus suap dan atau gratifikasi Rp60 miliar.
“Terhadap keempat tersangka yang sudah ditetetapkan pada malam ini dilakukan penahanan 20 hari ke depan,” kata Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Sabtu malam, (12/4/2025).
Selain Arif, penyidik Pidsus Kejagung juga menahan 3 orang tersangka lainnya, yakni Panitera Muda Perdata pada PN Jakarta Utara (Jakut), Wahyu Gunawan; dan dua orang advokat atau pengacara, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto.
Qohar menyampaikan, Kejagung menahan mereka selama 20 hari ke depan, terhitung mulai Sabtu. Mereka langsung ditahan usai diteapkan sebagai tersangka kasus suap dan atau gratifikasi Rp60 miliar tersebut.
Kejagung menahan Wahyu Gunawan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas 1 Jakarta Timur (Jaktim) Cabang Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tersangka Muhammad Arif Nuryanta dan Marcella Santoso ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI).
Sedangkan tersangka Ariyanto ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel).
Sebelumnya, Kejagung menetapkan Arif dkk sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi terkait fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada Januari 2021–April 2022.
Qohar menjelaskan, Arif yang kala itu menjabat wakil ketua PN Jakpus diduga menerima suap Rp60 miliar melalui orang kepercayaannya, Wahyu Gunawan.
Suap itu diberikan oleh dua orang advokat di atas agar Arif mengatur vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap sejumlah terdakwa korporasi di bawah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musimas Group.
Adapun rincian perusahaan dari Permata Hijau Group adalah PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Sedangkan dari Wilmar Group terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multimas Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Selanjutnya, Musim Mas Group terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Agro Makmur Raya, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
Sejumlah korporasi tersebut didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya padaa Januari 2021–April 2022.
JPU menuntut agar para terdakwa korporasi dari Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group tersebut dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp1 miliar.
Selain itu, dijatuhkan pidana tambahan kepada Permata Hijau Group untuk membayar uang pengganti sebesar Rp937.558.181.691, Wilmar Group Rp11.880.351.802.699, dan Musim Mas Group Rp4.890.938.943.94,1.
JPU menilai korporasi tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi tersebut secara besama-sama sebagaimana dakwaan primer.
Mereka dinillai terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian menyatakan bahwa para terdakwa korporasi terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan JPU.
“Akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana oleh majelis hakim Pengendalian Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujarnya.
Kejagung mencium aroma tidak beres atas putusan atau vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging) tersebut, yakni karena adanya dugaan suap Rp60 miliar yang diberikan oleh advokat Marcella Santoso dan Ariyanto kepada Muhammad Arif Nuryanta.
Penyidik melakukan sejumlah penggeledahan dan memeriksa saksi-saksi hingga akhirnya menemukan bukti permulaan yang cukup adanya suap pengurusan perkara vonis perkara tersebut.
“Pemberian suap atau gratifikasi tersebut diberikan melalui WG [Wahyu Gunwan], WG tadi saya sebut panitera.” ujarnya.
“Pemberian ini dalam rangka pengurusan perkara dimaksud agar majelis hakim yang mengadili perkara tersebut memberikan putusan ontslag,” ucapnya.
Majelis hakim Pengdilan Tipikor Jakarta memutus ontslag para terdakwa korporasi tersebut pada tanggal yang sama, yakni pada tanggal 19 Maret 2025.
Atas dasar itu, Kejagung menetapkan Muhammad Arif Nuryanta, Wahyu Gunawan, Marcella Santoso dan Ariyanto sebagai tersangka.
Kejagung menyangka Wahyu Gunawan melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Pasal 11 juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Muhammad Arif Nuryanta disangka melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Marcella Santoso dan Ariyanto disangka melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 Ayat (1) juncto Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.