News

Ketika Gelap Terlalu Lama, Solusi Terlalu Pelan Datang

Published

on

JAKARTA — Bencana selalu punya cara sendiri untuk membuka topeng kepemimpinan. Saat alam menguji, publik tidak mencari slogan, seremoni, atau laporan kinerja. Mereka mencari satu hal sederhana: keputusan yang bekerja.

Aceh sudah 16 hari gelap. Dan sampai hari ini, PT PLN belum juga berani memberi satu kalimat paling penting bagi warga terdampak: kepastian kapan listrik benar-benar kembali.

Di titik inilah krisis berubah bentuk. Bukan lagi sekadar soal banjir atau jaringan rusak, melainkan soal kepemimpinan. Karena seperti kata sejarawan Doris Kearns Goodwin, dalam krisis orang tidak melihat sistem, mereka melihat pemimpinnya.

Masalahnya, yang terlihat justru kebingungan yang berkepanjangan.

Gelap yang Bukan Pertama Kali

Aceh bukan wilayah baru bagi blackout. Bahkan sebelum bencana, pemadaman besar sudah dua kali terjadi. Artinya, rapuhnya sistem kelistrikan di provinsi paling barat Indonesia ini bukan kejutan. Yang mengejutkan justru minimnya langkah antisipatif.

Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO) sekaligus Koordinator Nasional Relawan Listrik Untuk Negeri (Re-LUN), Teuku Yudhistira, menyebut situasi ini sebagai kegagalan berpikir strategis.

“PLN ini punya track record buruk soal listrik di Aceh. Sebelum bencana pun sudah dua kali blackout. Harusnya ini jadi alarm, bukan sekadar catatan lama,” ujarnya di Jakarta, Rabu (17/12/2025).

Namun alarm itu seolah hanya jadi bunyi latar. Jaringan diperbaiki, tiang ditegakkan, kabel disambung. Semua berjalan seperti biasa. Padahal situasinya tidak biasa.

Solusi Ada, Tapi Tak Pernah Disebut

Yang membuat kritik kian tajam bukan karena PLN tidak bekerja, melainkan karena PLN terlihat hanya bekerja dengan satu cara.

Menurut Yudhistira, ada solusi yang jauh lebih cepat, realistis, dan relevan untuk kondisi darurat. Bukan teknologi eksperimental, bukan wacana masa depan. Panel surya dengan baterai.

“Salah satu solusi paling praktis, cepat, dan sangat mungkin dilakukan untuk mengatasi kegelapan adalah panel surya dengan baterai, sambil menunggu jaringan PLN pulih sepenuhnya,” tegasnya.

Dalam bencana, jaringan listrik hampir selalu jadi korban pertama. Tiang roboh, kabel putus, gardu terendam. Di sisi lain, genset pun sering tak berguna karena BBM sulit masuk akibat akses yang terputus.

Di tengah kondisi seperti itu, sistem tenaga surya justru unggul karena satu alasan sederhana: bekerja sendiri.

“Sistem panel surya dengan baterai bisa langsung dimanfaatkan karena tidak bergantung pada jaringan atau pasokan BBM,” kata Yudhistira.

Pertanyaannya sederhana: jika solusinya ada, kenapa tidak dipakai?

Dana Ada, Tapi Prioritas Dipertanyakan

PLN bukan perusahaan kecil dengan anggaran terbatas. Ada dana darurat. Ada anggaran TJSL atau CSR. Dan ada kewenangan untuk bertindak cepat, terutama di titik vital seperti rumah sakit, SPBU, PDAM, dan lokasi pengungsian.

Namun hingga hari ke-16, solar panel darurat tak pernah benar-benar menjadi opsi utama.

“Kalau langkah ini tidak diambil, wajar publik bertanya. Jangan-jangan anggaran sudah habis untuk hal-hal yang kurang relevan. Beli penghargaan, bangun pencitraan, atau sekadar konten media sosial,” sindir Yudhistira.

Sindiran ini terasa pedas, tapi sulit dibantah. Dalam krisis, kehadiran pemimpin di kamera tidak pernah bisa menggantikan hadirnya listrik di rumah sakit.

Dunia Sudah Bergerak, Kita Masih Berdiskusi

Aceh bukan kasus unik. Dunia sudah berkali-kali menghadapi bencana serupa dan belajar dengan cepat.

Pasca Badai Maria di Puerto Rico, Tesla memasang panel surya dan baterai untuk menopang rumah sakit anak dan membangun microgrid sementara. Di Nepal, setelah gempa 2015, organisasi nirlaba menghadirkan listrik tenaga surya ke desa-desa terpencil. Bahkan sejak 1988, tenaga surya sudah dipakai dalam operasi bantuan bencana.

Indonesia bukan kekurangan contoh. Hanya kekurangan keberanian untuk menjadikannya kebijakan standar.

Transisi Energi yang Mandek di Seremoni

Kritik paling telak justru datang dari narasi besar yang selama ini digaungkan: transisi energi.

Menurut Yudhistira, terlalu banyak kerja sama, peresmian, dan pabrik panel surya yang ramai diberitakan, tapi senyap saat krisis datang.

“Banyak proyek transisi energi berhenti di seremoni. Ketika bencana terjadi, perangkatnya tidak siap. Ini menunjukkan jarak antara narasi dan kesiapan nyata,” katanya.

Jika dalam kondisi darurat masih harus menunggu prosedur, produksi, dan distribusi, maka energi terbarukan kehilangan maknanya sebagai solusi cepat.

Yang Dipertaruhkan Bukan Citra, Tapi Nyawa

Panel surya bukan pengganti jaringan nasional. Itu tidak diperdebatkan. Namun dalam bencana, ia bisa menjadi jembatan penyelamat.

“Panel surya dan baterai seharusnya menjadi bagian dari sistem siaga bencana nasional, bukan proyek jangka panjang yang baru berguna di seminar,” tegas Yudhistira.

Aceh hari ini memberi pelajaran mahal. Bahwa kegelapan terpanjang bukan datang dari alam, tetapi dari keputusan yang terlalu lama diambil.

Dan dalam bencana, menunggu sering kali sama berbahayanya dengan tidak berbuat apa-apa. (heybali)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Trending

Exit mobile version