Hukum
Kejari Medan Tangkap Tersangka Korupi Aset PT KAI Rp21,9 Miliar

Medan – Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan menangkap Risma Siahaan (RS) terkait kasus dugaan korupsi aset milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) senilai Rp21,9 miliar.
Kasi Pidsus Kejari Medan, Mochamad Ali Rizza, dalam keterangan pers dikuti pada Senin, (21/4/2025), menyampaikan, penangkapan Risma terkait penguasaan aset PT KAI di Jalan Sutomo Nomor 11, Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), tidak sesuai ketentuan.
Tim penyidik menangkap Risma setelah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor: TAP-03/L.2.10/Fd.2/04/2025 pada Kamis, (17/4//2025).
“Berdasarkan surat penetapan tersangka, Tim Pidsus Kejari Medan menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap tersangka RS,” ujarnya.
Tim penyidik menangkap Risma setelah lebih dari 3 kali mangkir dari panggilan pemeriksan yang dilayangkan secara patut.
“Tersangka tidak kooperatif dan akhirnya dilakukan penangkapan,” ujarnya.
Lebih lanjut Rizza mengungkapkan, penangkapan tersebut dilakukan setelah Tim Penyidik Pidsus Kejari Medan menerima informasi keberadaan tersangka Risma.
Sesuai informasi, tersangka Risma tengah berada di kediamannya di Jalan Sutomo, Kelurahan Perintis, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan.
“Setibanya di lokasi, TIM Intelijen dan Pidsus Kejari Medan bertemu dengan tersangka yang sedang berada di rumah bersama anaknya,” kata dia.
Tim penyidik kemudian membacakan surat penetapan tersangka dan surat perintah penangkapan kepada tersangka Risma.
“[Pembacaan] disampaikan secara terbuka dan disaksikan oleh anaknya,” kata Rizza.
Namun tersangka Risma sempat menolak penyerahan surat dan melakukan perlawanan. Tim penyidik pun terpaksa melakukan upaya paksa.
“Dilakukan upaya paksa dan dibawa ke Rutan Perempuan Kelas IIA Medan untuk dilakukan pemeriksaan dan penahanan,” ujarnya.
Dalam perjalanan ke Rutan, tersangka berkomunikasi secara intensif dengan penasihat hukumnya menggunakan telepon genggam miliknya.
Setibanya di Rutan, tersangka berpura-pura tidak sadarkan diri, sehingga tim segera menghubungi RSUD Dr. Pirngadi Medan. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa tersangka dalam kondisi sehat dan tidak ada hal yang menghambat proses penahanan.
Namun, ketika akan diserahkan kepada pihak Rutan, tersangka Risma kembali berpura-pura tidak sadar, sehingga pihak Rutan menolak menerima dengan alasan belum bisa dilakukan wawancara.
Tersangka akhirnya kami bawa ke Rumah Sakit Umum (RSU) Bandung menggunakan ambulans milik Rutan Perempuan Kelas IIA Medan dan mendapat tindakan medis serta perawatan inap pada pukul 19.30 WIB.
Rizza menyatakan, penetapan status tersangka terhadap Risma Siahaan dilakukan setelah yang bersangkutan tidak memenuhi lebih dari tiga kali panggilan tanpa alasan yang sah.
Selain itu, selama proses penyidikan, tersangka secara terang-terangan menghambat jalannya penyidikan dengan menolak memberikan keterangan.
Tersangka Risma juga mengusir petugas pengukuran saat akan melaksanakan pengukuran aset milik PT KAI yang sedang dikuasainya secara melawan hukum.
Ia menegaskan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari upaya penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara tegas dan profesional.
“Kami juga tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), serta memberikan ruang yang memadai bagi tersangka untuk memperoleh pendampingan hukum,” tandasnya.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI, nilai kerugian keuangan negara akibat perbuatan tersangka senilai Rp21.911.000.000 atau Rp21,91 miliar lebih.
Atas perbuatan tersebut Kejari Medan menyangka Risma Siahaan melanggar Pasal 2 Ayat (1) Subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, Risma juga disangka melanggar Pasal 15 juncto Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Hukum
SIAGA 98 Desak KPK Usut Dugaan Korupsi Tambang Nikel Raja Ampat

Jakarta – Simpul Aktivis Angkatan (SIAGA) 98 desak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usut dugaan korupsi dalam penerbitan izin tambang dan eksplorasi nikel di gugus Pulau Raja Ampat, Papua Barat Daya.
“KPK harus segera melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi penerbitan izin tambang nikel di Gugus Pulau Raja Ampat,” kata Hasanuddin, Koordinator SIAGA 98 pada Selasa, (10/6/2025).
Ia menyampaikan, KPK harus segera melakukan penyelidikan untuk memastikan apakah apakah penerbitan izin tambang dan eksploitasi nikel di Raja Ampat itu terdapat peristiwa tindak pidana korupsi.
Sebab, lanjut Hasanuddin, penambangan di pulau-pulau kecil menyimpangi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan dikuatkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023.
“Putusan ini menguatkan larangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil,” ujarnya.
Izin tambang tidak berdiri sendiri, tidak hanya dengan dalih potensi nikelnya, sehingga izin diterbitkan, harus juga dilihat dari sisi lain, baik lingkungan, tata ruang, dan peraturan lainnya.
“Kami berharap KPK segera membentuk tim untuk segera melakukan penyelidikan,” tandasnya.
Hukum
Polresta Bogor Meringkus Tersangka Narkoba Hingga Miras Ilegal

Satuan Reserse Narkoba Polresta Bogor Kota mengungkap 45 kasus narkotika dan menangkap 51 tersangka dalam operasi April-Mei 2025. Polisi juga membongkar gudang minuman keras ilegal jenis ciu dengan menangkap lima pelaku.
Wakapolresta Bogor Kota AKBP Indra Ranu Dikarta menyampaikan, kasus narkotika yang tersebar di enam wilayah dengan rincian: Bogor Utara 17 kasus, Bogor Selatan 10 kasus, Bogor Tengah 8 kasus, Bogor Timur 7 kasus, Bogor Barat 2 kasus, dan Tanah Sareal 1 kasus.
“Polisi menyita barang bukti berupa 360,74 gram sabu, 556,18 gram tembakau sintetis, 127,10 gram ganja, 57.418 butir obat keras terbatas, 2.791 butir psikotropika, dan 327 butir ekstasi,” ungkap Wakapolresta didampingi Kasat Narkoba Kompol Dede Hendrawan, Senin (9/6/2025).
AKBP Indra melanjutkan, Satres Narkoba bersama Polsek Bogor Timur menghentikan truk pengangkut ciu dari Jawa Tengah di kawasan Tajur, Bogor Timur. Truk tersebut membawa 120 dirigen kosong 30 liter dan 54 dus berisi 1.296 botol ciu.
“Pengembangan kasus mengarah ke gudang di Kampung Kaum, Desa Cilebut Timur, Sukaraja, Kabupaten Bogor. Polisi menangkap tiga pelaku: Jhon, Rocky, dan Syahrul. Di gudang ditemukan 130 dirigen berisi ciu, 13 dus ciu, satu dirigen biang arak bali, 100 botol arak bali, 2.000 botol kosong, 10.000 tutup botol, tiga set alat ukur kadar alkohol, serta peralatan produksi lainnya,” ujarnya.
“Kelima pelaku mengaku menerima upah Rp 40.000 per dirigen sebagai bagian jaringan miras ilegal dari Jawa Tengah,” imbuhnya.
AKBP Indra menambahkan, saat ini, kami sedang mendalami Dua Kasus Besar, Kasus Pertama: Unit 1 Satres Narkoba menangkap K.A.W (43) setelah mengembangkan kasus tersangka D.S. Polisi menyita 73,87 gram sabu yang disembunyikan dalam karung di rumah tersangka di Bogor Timur. Jaringan ini dikendalikan dari dalam lembaga pemasyarakatan.
Kasus Kedua: Unit 4 menggerebek kontrakan Z.A.P (29) di Bogor Utara dan menyita 55,94 gram sabu, 1,30 gram tembakau sintetis, 27 butir ekstasi, serta peralatan pengemasan narkoba. Z.A.P mengaku barang milik temannya berinisial A yang berstatus dalam pencarian orang (DPO). Jaringan diduga dari Jakarta dan dikendalikan Arnold yang juga DPO.
“Tersangka narkotika dijerat UU Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 114, 111, dan 112. Kasus obat keras menggunakan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 435 dan 436. Pelaku psikotropika dijerat UU Nomor 5 Tahun 1997 Pasal 60 dan 62. Kasus miras oplosan menggunakan Pasal 204 KUHP, Pasal 55-56 KUHP, dan Pasal 137 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan,” tegasnya.
Kami berkomitmen menjaga Kota Bogor tetap bersih dari narkotika dan miras berbahaya, Polresta akan terus melakukan penindakan tegas terhadap peredaran narkoba dan miras ilegal di wilayah Kota Bogor.
Hukum
Sidang MK: Rekening Siluman di BI dan Tagihan Fiktif Rp4,5 Trilyun ke Andri Tedjadharma

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang keempat uji materi Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN),28/05.
Yang menjadi sorotan: penagihan utang negara hingga Rp4,5 triliun terhadap Andri Tedjadharma, mantan pemegang saham Bank Centris Internasional. Namun dalam sidang itu terungkap fakta-fakta mencengangkan: adanya dugaan rekening siluman, penetapan jumlah utang yang cacat, hingga dugaan pemalsuan dasar hukum.
Kasus ini bermula dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006 yang menyebutkan Andri bertanggung jawab atas sisa kewajiban BLBI Bank Centris. Namun dalam sidang MK, terkuak bahwa dasar penagihan tersebut justru menyimpan teka-teki yang belum terjawab hingga kini. Audit BPK 2006 menyebutkan Bank Centris tidak terdaftar PKPS, karena penanganannya di tangan kejaksaan, dan masih menunggu proses di Mahkamah Agung.
Rekening Rekayasa
Maruarar Siahaan, mantan Hakim Konstitusi yang hadir sebagai ahli, menyebut bahwa telah terjadi manipulasi dalam transaksi BLBI yang menyeret nama Bank Centris. Ia menunjukkan bukti audit BPK yang membuktikan adanya dua rekening berbeda atas nama institusi yang sama.
“Bank Centris yang asli tercatat di rekening BI nomor 523-551-0016. Tapi uang BLBI malah dicairkan ke rekening 523-551-000,” kata Maruarar dalam sidang. Ia menyebut temuan itu berasal dari dokumen audit BPK dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Maruarar mengaku terkejut karena Pemerintah dan PUPN tidak menjawab atau membantah temuan tersebut, padahal fakta ini mengindikasikan adanya “bank rekayasa” yang diduga dijadikan alat penampung dana BLBI.
Putusan Kasasi yang Tak Pernah Ada?
Dalam keterangannya, pihak PUPN menyebut bahwa Andri Tedjadharma telah kalah dalam gugatan tata usaha negara, dan dasar koreksi nilai piutang menjadi Rp4,5 triliun adalah Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1688/K/PDT/2003. Tapi keterangan itu dipatahkan oleh para ahli.
“Mahkamah Agung tegas menyatakan tidak pernah menerima permohonan kasasi, bagaikan bisa muncul putusan itu,” tegas Maruarar. Ia menilai penetapan piutang berdasarkan putusan fiktif ini melanggar asas due process of law, dan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia menurut Pasal 28H UUD 1945.
Pemegang Saham Dijadikan Tumbal
Ahli hukum korporasi Prof. Nindyo Pramono mempersoalkan penetapan Andri sebagai “penanggung utang”. Menurutnya, tanggung jawab pemegang saham dalam hukum perseroan terbatas bersifat terbatas. Kecuali jika ia menandatangani perjanjian personal guarantee atau melanggar doktrin piercing the corporate veil.
“Tapi Andri tidak pernah menandatangani MSAA, MRNIA, APU, atau PKPS. Tidak ada perjanjian, tidak ada pengakuan utang,” kata Prof. Nindyo. Ia menegaskan, berdasarkan asas hukum perdata, tidak ada dasar bagi PUPN untuk menagih utang pribadi kepada Andri.
Bahkan, dalam sistem hukum Indonesia, lanjut Nindyo, penetapan seseorang sebagai penanggung utang pribadi harus dilakukan lewat gugatan perdata. Bukan lewat surat sepihak dari PUPN.
Notaris Bicara: Ini Bukan BLBI
Saksi lain, notaris Teddy Anwar, menegaskan bahwa akta-akta yang ia buat antara Bank Centris dan BI tahun 1997–1998 bukan untuk BLBI, melainkan untuk transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) khusus. Dalam keterangannya, ia menyebut bahwa dana tersebut dijamin dengan sertifikat hak guna bangunan dan promes nasabah yang sah.
Namun yang mengejutkan: pada 2024, PUPN menghubunginya dan meminta salinan akta yang tidak pernah ia buat, yang disebut berkaitan dengan BLBI. “Saya tegaskan, akta tersebut tidak pernah saya buat untuk BLBI,” katanya.
Teddy juga menyebut bahwa permintaan salinan dilakukan secara mendesak oleh kurir PUPN untuk kepentingan Satgas BLBI dan proses lelang. Ia menolak memberikan salinan resmi karena telah pensiun.
Penagihan Tanpa Bukti, Negara Menekan Rakyat?
Dari keseluruhan sidang, terbangun dugaan bahwa PUPN menjalankan eksekusi piutang tanpa dasar hukum yang sah, menggunakan dokumen yang tidak diverifikasi, dan menarget pihak yang tidak pernah menandatangani perjanjian utang apa pun.
Sementara itu, Andri Tedjadharma merasa heran dengan DJKN, PUPN dan KPKNL, Kementerian Keuangan, menetapkan Bank Centris dan dirinya sebagai obligor maupun penanggung utang, dengan mendasarkan pada audit BPK tahun 2006 tentang PKPS.
“Apa DJKN tidak membaca, audit BPK 2006 itu dengan jelas menyebutkan Bank Centris bukan sebagai bank yang masuk dalam PKPS. Audit BPK ini malah menjadi dasar kuat Bank Centris dan saya bukan obligor maupun penanggung utang,” tuturnya dalam wawancara usai sidang MK.
Melihat fakta di atas, begitu terang bahwa proses hukum terhadap Andri Tedjadharma sangat dipaksakan. Bisa dikategorikan sebagai kriminalisasi administratif—penggunaan hukum negara untuk merampas aset warga tanpa proses hukum yang benar dan adil. Seperti halnya dikatakan Maruarar: “Kepastian hukum itu adalah kepastian yang adil.”
Kini, pertanyaannya mengarah ke Mahkamah Konstitusi: apakah mereka akan membiarkan sistem seperti ini tetap hidup dalam tubuh hukum Indonesia? Atau akan mengakhiri praktik “penagihan gelap” yang bersembunyi di balik nama PUPN dan Satgas BLBI? Keadilan menanti jawabannya.
-
News3 weeks ago
Suami Najwa Shihab, Ibrahim Assegaf, Meninggal Dunia
-
News3 weeks ago
BMKG Laporkan Ormas GRIB Jaya ke Polisi Terkait Pendudukan Lahan Negara
-
Sosial6 days ago
Kabar Duka: Ustadz Dr. Yahya Waloni Berpulang ke Rahmatullah
-
News3 weeks ago
Operasi Brantas Jaya 2025: 23 Preman Berkedok Juru Parkir Diamankan Polres Jaksel
-
Hukum3 weeks ago
Empat Profesor Soroti Beberapa Poin KUHP Baru
-
News4 weeks ago
Ted Sioeng Gugat Bank Mayapada Rp 1,25 Triliun, Sidang Perdana Digelar Awal 2025
-
Hukum3 weeks ago
Sosialisasi KUHP Baru, Peradi Jakbar-UAI Hadirkan 4 Profesor
-
Entertainment3 weeks ago
Teresa Sylviliana: Penyanyi Cilik Multitalenta Asli Indonesia Rilis Tiga Lagu Sendiri dan Udah Numpuk Segudang Prestasi di Umur 10 Tahun!