Connect with us

Sosial

BRIGADE 08 DPD RIAU Turut Serta dalam Aksi Bela Palestina, Kecam Keras Genosida oleh Israel

Published

on


Pekanbaru – Dalam aksi solidaritas yang digelar oleh Koalisi Riau Bela Palestina, BRIGADE 08 DPD Riau menunjukkan dukungan tegas terhadap penghentian genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina. Kegiatan ini berlangsung damai namun penuh semangat, diikuti oleh berbagai elemen masyarakat dan organisasi yang menyerukan keadilan dan kemanusiaan.

Salah satu orator dari BRIGADE 08, yang dikenal sebagai penyampai aspirasi yang lantang, menyampaikan pidato penuh semangat yang mengecam keras keberadaan Israel. Dalam orasinya, ia menyebut Israel sebagai “negara palsu” yang didirikan oleh kekuatan kolonial seperti Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.

Tak hanya itu, dalam pernyataan yang kontroversial, orator BRIGADE 08 secara pribadi mengecam negara-negara yang menjalin hubungan dengan Israel. Ia menyebut negara-negara seperti Arab Saudi, Bahrain, Mesir, Yordania, Maroko, Sudan, Uni Emirat Arab, dan lainnya sebagai bagian dari pihak yang disebut “teroris” karena mendukung Israel secara langsung atau tidak langsung.

“Jika genosida ini tidak dihentikan, akan ada aksi yang lebih besar lagi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta,” tegasnya. Ia juga menyampaikan bahwa pihaknya siap melakukan perlawanan lebih lanjut dalam bentuk dukungan moral, logistik, bahkan menyatakan kesiapan untuk menyuplai amunisi dan bergabung dalam perjuangan fisik di wilayah Palestina.

Pernyataan ini mengundang perhatian banyak pihak, sekaligus menjadi refleksi mendalam atas kemarahan publik terhadap kekerasan yang terus berlanjut di Gaza dan wilayah Palestina lainnya.

Aksi damai tersebut ditutup dengan doa bersama untuk rakyat Palestina dan seruan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak tinggal diam terhadap ketidakadilan yang terjadi.


Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Ritual Tahunan: Bencana, Korban Jiwa, Lalu… ‘Akan Kami Panggil’

Published

on

OPINI | Giostanovlatto
Founder, Hey Bali

Tragedi Sumatera bukan sekadar kecelakaan alam, tapi bukti berulangnya kegagalan manajemen risiko lintas rezim. Ketika peringatan tidak diindahkan dan koordinasi hanya bekerja setelah korban berjatuhan, kita harus bertanya: sampai kapan negara bergerak hanya setelah bencana terjadi?

“Pekan depan, kami akan panggil delapan perusahaan.”

Kalimat yang keluar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa hari lalu seharusnya terdengar tegas. Berwibawa. Sebuah sinyal bahwa negara hadir dan siap menegakkan hukum.

Tapi di telinga publik yang telah terlalu sering mendengar janji serupa, kalimat itu justru terasa seperti naskah lama yang diputar ulang. Sebuah ritual kata-kata yang akrab dan, jujur saja, kosong. Ia datang terlambat—setelah tanah longsor dan banjir bandang mengubur hidup ratusan keluarga di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Setelah lebih dari 700 nyawa melayang, ribuan rumah hancur, dan seisi negeri berkabung.

Di tengah bau anyir lumpur dan duka yang masih menyengat, sebuah pertanyaan pahit menggema: Mengapa panggilan ‘tegas’ itu selalu, selalu, datang setelah kuburan-kuburan mulai dipenuhi?

TRAGEDI SAAT INI: “PEMANGGILAN” DI TENGAH NISAN

Gambaran yang datang dari Sumatera pekan-pekan ini mirip adegan film bencana. Air yang bukan lagi air, melainkan lumpur hitam pekat bercampur pepohonan tumbang dan puing-puing, menyapu desa, jembatan, dan jalan. Korban jiwa melonjak dari puluhan menjadi ratusan dalam hitungan hari. Evakuasi berjalan lambat karena akses terputus. Ini adalah bencana hidrometeorologi dalam skala yang mengerikan.

Dan di tengah hiruk-pikuk tanggap darurat, muncul lah pernyataan resmi: pihak berwenang akan “memanggil” delapan perusahaan perkebunan dan kehutanan yang arealnya diduga berkontribusi pada bencana.

Respon ini, dengan segala formalitas birokratisnya, seakan ingin mengatakan, “Lihat, kami bertindak!”

Namun, yang dirasakan justru sebaliknya. Ini bukan tindakan. Ini adalah rutinitas. Sebuah pola respons baku yang telah terpateri dalam DNA birokrasi kita: Tragedi -> Publik Berduka -> Pemerintah “Bergerak Cepat” -> Panggilan, Janji, Tim -> Lupa -> Pengulangan.

Kita tidak sedang menyaksikan penanganan sebuah krisis. Kita sedang menyaksikan gejala dari sebuah penyakit kronis: Sindrom Respons-Krisis (Crisis-Response Syndrome). Sebuah kondisi di mana negara hanya mampu bergerak sebagai pemadam kebakaran, setelah rumah rakyat sudah menjadi abu.

BUKU PEDOMAN NASIONAL: SEJARAH PEMERINTAHAN YANG REAKTIF, BUKAN PROAKTIF

Untuk memahami bahwa kasus Sumatera bukanlah kelainan, melainkan pola, kita perlu membuka lembaran sejarah yang muram. Pola “tindakan setelah korban berjatuhan” adalah buku pedoman tak tertulis yang berlaku lintas rezim, lintas kepemimpinan, dan lintas pulau.

Kasus 1: Banjir Jakarta, Siklus Abadi.
Setiap tahun, ibu kota negara ini seperti menjalani ritual tahun baru yang kelam: banjir. Setelah air surut, proyek “normalisasi” sungai dan wacana giant sea wall mendadak ramai dibicarakan. Pejabat berjanji, anggaran digelontorkan. Tapi pertanyaannya selalu sama: Di mana ketegasan penegakan hukum tata ruang sebelum musim hujan? Di mana pengawasan ketat terhadap pengurukan wilayah resapan dan penyempitan aliran sungai yang terjadi sehari-hari? Aksi selalu datang setelah kota tenggelam, bukan untuk mencegahnya tenggelam.

Kasus 2: Kabut Asap Lintas Batas, Bisnis Seperti Biasa.
Sejak era 1990-an, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatra dan Kalimantan telah menjadi krisis tahunan. ASEAN sudah berkali-kali mengeluh. Setiap kali langit di Riau atau Jambi menjadi kuning-oranye dan kualitas udara mencapai tingkat berbahaya, barulah kita menyaksikan operasi gabungan, pemadatan, dan—sekali lagi—”pemanggilan” perusahaan. Selalu setelah negara tetangga protes, sekolah-sekolah diliburkan, dan anak-anak kesulitan bernapas. Proses hukum berjalan lambat, sementara izin-izin baru mungkin saja telah terbit.

Kasus 3: Gempa & Tsunami, Ironi “Pembangunan Kembali”.
Kita sangat heroik dalam membangun kembali. Pasca gempa Palu, tsunami Aceh, atau gempa Lombok, upaya rekonstruksi digaungkan dengan semangat membara. Namun, heroisme itu sering menutupi kegagalan mendasar di tahap sebelumnya: penegakan standar bangunan tahan gempa yang masih lemah, sistem peringatan dini yang belum optimal, dan zonasi berbasis risiko yang dikalahkan oleh kepentingan properti.

Benang Merahnya jelas: Dalam pola pikir birokrasi kita, kebijakan sering kali bukanlah alat untuk merancang masa depan yang aman. Ia adalah alat respons terhadap masa lalu yang sudah rusak. Kita adalah ahli dalam berduka dan memperbaiki, tetapi amatir dalam mencegah.

ANATOMI KEGAGALAN: MENGAPA SISTEM INI BEGINI ADANYA?

Mengapa negara dengan segudang regulasi, kementerian, dan anggaran ini terjebak dalam siklus yang memalukan ini? Jawabannya bukan pada kejahatan individu, tetapi pada kegagalan sistemik.

  1. Kalkulasi Politik yang Pendek (Short-Term Political Calculus). Di mata birokrasi dan politisi, bertindak setelah bencana lebih “bermanfaat”. Terlihat heroik, mediatis, dan penuh solidaritas. Bekerja sunyi-senyap mencegah bencana—dengan menolak izin investasi bermasalah, menertibkan bangunan liar di bantaran sungai, atau menindak perusahaan nakal—adalah kerja yang tidak populer. Ia penuh risiko konflik dan tidak menjamin panggung. Lebih mudah menjadi “pahlawan” saat banjir daripada menjadi “pengawas” yang galak saat kemarau.
  2. Penegakan Hukum yang Tumpul dan Regulatory Capture. Indonesia bukan kekurangan aturan. UU Lingkungan Hidup, AMDAL, aturan tata ruang—semua ada. Masalahnya, penegakannya tumpul dan tidak konsisten. Hukum sering kali tunduk pada kepentingan bisnis (“regulatory capture”). Perusahaan hanya “dipanggil” untuk dimintai klarifikasi, jarang sekali dirugikan secara finansial atau dicabut izinnya secara permanen sejak dini. Hukum baru bergerak setelah bencana menjadi bukti yang tak terbantahkan.
  3. Birokrasi yang Terkotak-kotak (Siloed Bureaucracy). Lihatlah lembaga-lembaga yang terlibat: KLHK, Kementerian PUPR, BNPB, Pemerintah Daerah, KLHK Provinsi. Masing-masing memiliki wewenang, anggaran, dan kepentingannya sendiri. Koordinasi yang solid biasanya baru tercipta setelah bencana terjadi, dalam bentuk posko gabungan. Tanggung jawab untuk tindakan pencegahan yang proaktif terpecah-pecah, kabur, dan mudah untuk dialihkan.
  4. Amnesia Publik dan Akuntabilitas yang Lemah. Siklus berita kita cepat. Kemarahan publik atas sebuah bencana biasanya mereda dalam hitungan minggu, digantikan oleh skandal atau isu politik baru. Pejabat yang dianggap gagal mencegah bencana jarang sekali diberi konsekuensi politik yang nyata. Tidak ada pemecatan massal, tidak ada pengurangan anggaran untuk lembaga yang lalai. Kita lupa dengan cepat, dan mereka yang berkuasa tahu itu.

BIAYA MENJADI “PEMADAM KEBAKARAN”: LEBIH DARI SEKADAR KORBAN JIWA

Sindrom ini mahal. Sangat mahal. Biayanya melampaui daftar korban jiwa yang memilukan.

  • Biaya Ekonomi yang Boros. Dana tanggap darurat, rehab-rekonstruksi, dan bantuan sosial pasca-bencana selalu berlipat-lipat besarnya dibandingkan anggaran untuk mitigasi dan pencegahan. Kita menguras kas negara untuk membangun kembali apa yang seharusnya bisa kita lindungi. Ini adalah pemborosan kronis yang melemahkan pembangunan.
  • Erosi Kepercayaan Publik. Setiap kali ritual “pemanggilan setelah bencana” ini terulang, kepercayaan rakyat terhadap negara dan kapasitasnya mengurus rakyatnya terkikis sedikit demi sedikit. Masyarakat belajar untuk tidak percaya pada janji “tidak akan terulang lagi”. Yang lahir adalah sinisme, rasa tidak berdaya, dan penerimaan bahwa nasib ditentukan oleh alam dan kelalaian penguasa.
  • Degradasi Lingkungan yang Tak Terpulihkan. Setiap tragedi banjir bandang atau kabut asap adalah puncak gunung es. Di bawahnya, terjadi degradasi lingkungan harian yang dibiarkan: penggundulan hutan, alih fungsi lahan, pencemaran sungai. Kita sibuk memulihkan korban, sementara akar penyakitnya—kerusakan ekosistem—terus berlanjut, seringkali secara legal.

MEMUTUS RANTAI: DARI “PENGGALI KUBUR” MENJADI “PENJAGA”

Lalu, adakah jalan keluar? Atau kita hanya bisa pasrah pada siklus ini? Jalan keluar itu ada, tetapi ia membutuhkan perubahan radikal dalam logika bernegara.

  1. Mengubah Insentif: Ukur Kinerja dari Pencegahan. Sistem penilaian kinerja pejabat dan lembaga harus diubah. Berikan bobot besar pada indikator pencegahan: berapa banyak pelanggaran AMDAL yang ditindak sebelum operasi? Berapa persen peningkatan kualitas air sungai? Berapa banyak masyarakat yang telah dilatih dan diikutsertakan dalam sistem peringatan dini? Jadikan “zero disaster” sebagai tujuan, bukan “cepat tanggap saat disaster”.
  2. Hukum yang Mencengkeram Sebelum Bencana. Penegakan hukum harus bergeser dari mode reaktif ke proaktif. Cabut izin, berikan denda yang membuat jera, dan proses pidana terhadap korporasi yang melakukan pelanggaran berat sejak dini, ketika risikonya baru teridentifikasi, bukan setelah malapetaka terjadi. Hukum harus menjadi penjaga yang galak, bukan tukang bersih-bersih.
  3. Memperkuat Lembaga “Penjaga”, Bukan Hanya “Pemadam”. Alokasikan sumber daya dan kewenangan yang memadai—dan yang terpenting, perlindungan politik—kepada lembaga pengawas lingkungan, tata ruang, dan kebencanaan. Mereka harus menjadi tulang punggung negara preventif.
  4. Menuntut Ingatan Kolektif: Jadikan Isu Pemilu. Media, masyarakat sipil, dan kita semua harus menolak amnesia. Setiap bencana yang terjadi harus dikaitkan dengan janji-janji pasca-bencana sebelumnya. Tuntut pertanggungjawaban. Jadikan rekam jejak pencegahan bencana sebagai isu utama dalam setiap pemilihan, dari tingkat desa hingga presiden.

Kesimpulan: Sebelum Kuburan Berikutnya

Pemanggilan delapan perusahaan pekan depan mungkin akan menghasilkan berita utama, denda administratif, atau proyek tanggung jawab sosial perusahaan. Mungkin juga hanya akan menghasilkan notulen rapat yang lalu tersimpan rapi.

Namun, selama logika pemerintahan kita tetap bereaksi pada bau anyir kuburan, bukan pada laporan analisis risiko, pengawasan lapangan, dan teriakan para aktivis lingkungan yang memperingatkan bahaya; selama kita lebih memilih ritual “pemanggilan” daripada tindakan pencegahan yang tidak populer—maka kita semua, sebagai bangsa, hanya sedang menunggu.

Kita menunggu graveyard berikutnya.

Pertanyaannya bukan apakah bencana serupa akan terulang. Pertanyaannya adalah: di provinsi mana, berapa ribu keluarga lagi yang akan kehilangan tempat tinggal, dan berapa banyak nama lagi yang akan terpahat di nisan.

Continue Reading

Sosial

Sedang Viral, Tokoh Utama Relief Borobudur Ternyata Semar

Published

on

resensi buku

Buku “Sri Buddha #1: Karena Hari Ini Tumbuh Masa Lalu”, karya Wenri Wanhar sedang menjadi perbincangan hangat. Sehangat kopi susu yang dihidangkan di pasar rakyat.

Pasalnya, buku yang baru saja terbit November 2025 ini menawarkan narasi yang tidak biasa.

Pertama, dia menyatakan bahwa tokoh utama dalam cerita di relief Mandala Borobudur bernama Indra Jati, pemuncak Sailendra.

Kedua, Indra Jati yang dikenang turun temurun melalui bisik penuh rahasia sebagai leluhur agung di Pulau Sumatera, menurut Wenri, sama dengan sosok Hyang Semar, sosok legendaris pamomong Pulau Jawa.

Ketiga, Indra Jati atau Semar, sebagai pemuncak Wangsa Sailendra adalah sang pembawa kabar, pembawa ajaran. Yakni ajaran Buddhi. Benih ajaran yang lahir dan tumbuh di negeri lautan selatan, selapis negeri yang hari ini bernama Indonesia.

Ini jelas bukan sembarang narasi. Ini narasi baru.

Buku setebal 117 halaman ini merupakan serial pertama dari rangkaian serial Sri Buddha. Bila tak ada aral melintang, SRIBUDDHA #2 akan segera rilis di bawah judul LINGGA YONI SRIWIJAYA.

Sejauh mana kebenaran ceritanya, Wenri sendiri mengakui, “kita tidak pernah merasa paling benar. Kalau lah ada kebenarannya, itu hanyalah umpama segenggam daun di antara rimbunnya daun di hutan. Sebab, bila kita merasa paling benar, maka pendapat di luar kita akan ada saja salahnya. Sementara, ajaran Buddhi mengajarkan, bila kita berani menyalahkan orang lain, sebenarnya kita sudah salah duluan.”

Wenri membuka kisah di buku ini seperti orang baru bangun dari tidur. Dia menceritakan mimpi-mimpi.

Seperti apa mimpinya?

Anda bisa langsung membaca buku kecil setebal 117 halaman yang dikisahkan dengan bahasa ringan setarikan nafas.

Edisi cetakan pertama, November 2025 sudah mulai beredar di pasaran. (*)

penulis buku : Wendri Wanhar

Continue Reading

Budaya

Viola Azhira Widyansari Sabet Gelar Winner Puteri Batik Remaja Indonesia 2025

Published

on

Wartahot – Kabar membanggakan datang dari dunia pageant remaja. Viola Azhira Widyansari, siswi kelas 12 SMAN 28 Jakarta, berhasil membawa pulang gelar Winner Puteri Batik Remaja Indonesia 2025 pada ajang bergengsi yang digelar Sabtu, 1 November 2025.

Ajang ini diikuti oleh para finalis dari berbagai daerah di Indonesia. Setelah melewati masa karantina sejak 29 hingga 31 Oktober, para peserta tampil di malam grand final yang berlangsung di Gedung Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, dengan sesi penilaian awal di Yello Hotel Harmoni.

Sebelum melangkah ke tingkat nasional, Viola lebih dulu mewakili DKI Jakarta sebagai Puteri Remaja Indonesia Jakarta Budaya 2025. Dari sana, ia sukses melangkah lebih jauh dan membawa pulang dua gelar sekaligus — Puteri Batik Remaja Indonesia Favorit dan Winner Puteri Batik Remaja Indonesia 2025.

Penampilan Viola malam itu mencuri perhatian. Gayanya yang anggun dipadukan dengan pengetahuan mendalam soal filosofi batik membuat juri terpukau.

“Batik bukan hanya kain, tapi identitas dan kebanggaan bangsa. Saya ingin menginspirasi remaja lain untuk mencintai dan memakai batik dalam keseharian,” ujar Viola dengan penuh semangat setelah dinobatkan sebagai pemenang.

Viola juga mengaku bangga bisa tampil mengenakan batik hingga ke kancah internasional. Ia berharap suatu saat bisa memperkenalkan batik Indonesia lebih luas lagi ke dunia lewat ajang internasional, termasuk di dunia pageant.

Dengan kemenangannya ini, Viola Azhira Widyansari diharapkan bisa menjadi sosok inspiratif bagi remaja Indonesia — membawa semangat cinta budaya, sekaligus menunjukkan bahwa anak muda Jakarta bisa berprestasi dan membanggakan di tingkat nasional maupun global.

Continue Reading

TERKINI

News3 hours ago

WNA Asal Prancis Diduga Jadi Korban Penipuan Investasi Kripto, Kerugian Capai Rp10 Miliar

Jakarta — Seorang warga negara Prancis berinisial I M diduga menjadi korban penipuan dan penggelapan dana investasi kripto yang dilakukan...

News14 hours ago

Polda Metro Jaya Dampingi Siswa SDN 01 Kalibaru Pulih dari Trauma Usai Insiden Kecelakaan

Jakarta — Tim Psikologi Biro SDM Polda Metro Jaya bersama Ikatan Psikologi Klinis (IPK) HIMPSI Jakarta memberikan Psychological First Aid...

News1 day ago

Jasaraharja Putera Unit Syariah Bersama BAZNAS Dirikan Dapur Umum Bagi Korban Banjir di Sumatera

SUMATERA – Dalam upaya memberikan dukungan nyata bagi masyarakat yang terdampak bencana banjir di wilayah Sumatra, PT Jasaraharja Putera melalui...

News2 days ago

Viral! Mobil MBG Seruduk Barisan Siswa, Warganet Desak Transparansi

Wartahot – Sebuah insiden yang memicu evaluasi besar-besaran terhadap standar keselamatan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) terjadi di halaman SDN...

News2 days ago

Jasaraharja Putera Peduli Bantu Dana dan Kebutuhan Pokok Korban Banjir di Sumbar, Sumut dan Aceh

Wartahot – Menyikapi kondisi darurat akibat bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Provinsi Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh...

Olahraga3 days ago

Regenerasi Padel Indonesia Bersinar di Beyond Open 2025

Wartahot.news — Beyond Open 2025 kembali hadir sebagai salah satu turnamen padel paling bergengsi di Indonesia, membawa standar kompetisi yang...

News4 days ago

Tegaskan Komitmen SDM, Jasaraharja Putera Dominasi Wisuda Profesi AAMAI 2025

Jakarta — PT Jasaraharja Putera kembali menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kompetensi sumber daya manusia melalui partisipasinya pada Wisuda Gelar Profesi...

News4 days ago

Polri Kerahkan Ratusan Personel Bantu Penanganan Bencana di Sumatera

DEPOK — Polri mengerahkan ratusan personel dan berbagai perlengkapan taktis untuk membantu penanganan bencana di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera...

Entertainment5 days ago

“Kita Tak Sendiri”: Kado Akhir Tahun dari Farel dan Etenia

Jakarta — Menjelang penutup tahun 2025, Farel Prayoga dan Etenia Croft, kembali memberikan kejutan manis untuk para penggemarnya. Pada 4...

News1 week ago

Ritual Tahunan: Bencana, Korban Jiwa, Lalu… ‘Akan Kami Panggil’

OPINI | GiostanovlattoFounder, Hey Bali Tragedi Sumatera bukan sekadar kecelakaan alam, tapi bukti berulangnya kegagalan manajemen risiko lintas rezim. Ketika...

Trending