Hukum
Ini Sosok di Balik Suap Fantastis Rp60 Miliar
Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 8 orang tersangka kasus suap Rp60 miliar pengurusan vonis bebas perkara korupsi Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Lantas siapa inisiator suap terbilang fantastis tersebut? Direktur Penyidikan Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Selasa malam, (15/4/2025), mengungkap sosoknya.
Menurut dia, berdasarkan hasil penyidikan hingga saat ini, inisiator suap Rp60 miliar tersebut adalah Wahyu Gunawan yang saat ini menjadi Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara (Jakut).
“Fakta yang kami peroleh bahwa inisiatif dari Wahyu. Itu dalam perkara ini,” ujarnya.
Namun demikian, Wahyu Gunawan adalah orang kepercayaan dari Muhammad Arif Nuryanta yang kala itu menjabat sebagai wakil ketua PN Jakarta Pusat (Jakpus) dan kini menjabat ketua PN Jaksel.
“WG [Wahyu Gunawan] waktu itu panitera, orang kepercayaan dari MAN [Muhammad Arif Nuryanta],” ujar Qohar.
Awalnya, Kejagung menetapkan Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit bulan Januari 2021–April 2022.
Permata Hijau Group ini terdiri dari PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Nubika Jaya, PT Permata Hijau Palm Oleo, dan PT Permata Hijau Sawit.
Sedangkan Wilmar Group terdiri dari PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Adapun Musim Mas Group terdiri dari PT Musim Mas, PT Intibenua Perkasatama, PT Mikie Oleo Nabati Industri, PT Agro Makmur Raya, PT Musim Mas-Fuji, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas.
Kasus dugaan korupsi tersebut kemudian bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian menuntut terdakwa korporasi Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group tersebut dijatuhi pidana denda masing-masing sebesar Rp1 miliar.
Selain itu, dijatuhkan pidana tambahan kepada Permata Hijau Group untuk membayar uang pengganti sebesar Rp937.558.181.691, Wilmar Group Rp11.880.351.802.699, dan Musim Mas Group Rp4.890.938.943.94,1.
JPU menilai korporasi tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi tersebut secara besama-sama sebagaimana dakwaan primer.
Mereka dinillai terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian menyatakan bahwa para terdakwa korporasi terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan JPU.
“Akan tetapi perbuatan itu bukanlah merupakan suatu tindak pidana oleh majelis hakim Pengendalian Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ujar Qohar.
Kejagung mencium aroma tidak beres atas putusan atau vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging) yang diketok oleh majelis hakim yang terdiri Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Qohar mengungkapkan, vonis lepas (ontslag) tersebut bermula dari adanya kesepakatan antara Ariyanto selaku pengacara terdakwa korporasi minyak goreng dengan Wahyu Gunawan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi dan bukti diperoleh fakta bahwa suap dan atau gratifikasi Rp60 miliar ini bermula dari adanya pertemuan antara pengacara Ariyanto dan panitera Wahyu Gunawan.
Pada saat itu, Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus. Jika tidak, putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
Dalam pertemuan tersebut Wahyu Gunawan juga menanyakan terkait biaya yang disediakan terdakwa korporasi. Namun tersangka Ariyanto belum bisa menjawab karena hal tersebut harus ditanyakan terlebih dahulu kepada kliennya.
“Informasi yang diperoleh dari tersangka WG tersebut oleh tersangka AR disampaikan kepada tersangka MS [Marcella Santoso],” ujarnya.
Marcella Santoso yang merupakan advokat bertemu dengan Muhammad Syafei di rumah makan Daun Muda di daerah Jakarta Selatan (Jaksel). Dalam pertemuan tersebut, Marcella Santoso menyampaikan perihal informasi yang diperoleh Ariyanto dari Wahyu Gunawan.
Marcella Santoso mengatakan bahwa Wahyu Gunawan bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya.
“Mendapati informasi tersebut, MSY [Muhammad Syafei] menyampaikan bahwa sudah ada tim yang mengurusnya,” ujar Qohar.
Sekitar 2 pekan kemudian, tersangka Ariyanto dihubungi kembali oleh tersangka Wahyu Gunawan. Pada saat itu, Wahyu Gunawa menyampaikan agar perkara ini segera diurus.
Setelah mendapat pemberitahuan tersebut, kemudian Ariyanto menyampaikan kepada Marcella Santoso. Lantas, Macella bertemu lagi dengan Muhammad Syafei di rumah makan Daun Muda.
“Saat itu, MSY [Muhammad Syafei]
memberitahukan bahwa biaya yang disediakan pihak korporasi sebesar Rp20 miliar untuk mendapatkan putusan bebas,” katanya.
Menindaklanjuti hasil pertemuan tesebut, Ariyanto, Wahu Gunawan, dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Muhammad Arif Nuryanta, bertemu di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur (Jaktim).
Dalam pertemuan tersebut, Muhammad Arif Nuryanta mengatakan, perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas melainkan ontslag. Dia juga meminta agar uang Rp20 miliar tersebut dikali 3 sehingga total menjadi Rp60 miliar.
“Kemudian WG [Wahyu Gunawan] menyampaikan kepada Ariyanto agar menyiapkan uang sebesar Rp60 miliar,” ujarnya.
Setelah ada permintaan dari Wahyu Gunawan tersebut, Ariyanto lantas menyampaikannya kepada Marcella Santoso. Selanjutnya Marcella menghubungi Muhammad Syafei.
“MSY [Muhammad Syafei] menyanggupi akan menyiapkan permintaan tersebut dalam mata uang asing SGD atau USD,” katanya.
Sekitar 3 hari kemudian, Muhammad Syafei menghubungi Marcella dan menyampaikan bahwa uang yang diminta sudah siap. Dia juga menanyakan lokasi uang tersebut akan diantarkan.
“Selanjutnya tersangka MS [Macella Santoso] memberikan nomor handphone tersangka AR [Ariyanto] kepada MSY [Muhammad Syafei],” katanya.
Setelah ada komunikasi antara Ariyanto dan Muhammad Syafei, kemudian mereka bertemu di parkiran SCBD. Muhammad Syafei selanjutnya menyerahkan uang tersebut kepada Ariyanto.
Ariyanto lantas mengantar uang tersebut ke rumah Wahyu Gunawan di Klaster Ebony, JI. Ebony 6, Blok AE No. 28, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.
Wahyu Gunawan selantutnya menyerahkan uang tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta (MAN). Wahyu Gunawan diberikan uang sebesar US$ 50.000 oleh Muhammad Arif Nuryanta.
Setelah menerima uang setara Rp60 miliar, Muhammad Arif Nuryanta menunjuk Ketua Majelis Hakim yaitu Djuyamto, serta Hakim Ad Hoc Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharuddin sebagai hakim anggota untuk menyidangkan perkara korupsi 3 korporasi tersebut.
Setelah terbit penetapan sidang, Muhammad Arif Nuryanto memanggil Djuyamto dan Agam Syarif Baharuddin dan memberikan uang setara Rp4,5 miliar.
“Dengan tujuan untuk uang baca berkas perkara dan agar perkara tersebut diatensi,” ucapnya.
Uang setara Rp4,5 miliar itu dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh Agam Syarif Baharuddin kemudian dibagikan kepada 3 hakim yang menangani perkara korupsi korupsi 3 korporasi tersebut, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Setelah itu, pada sekira bulan September atau Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan kembali uang dolar Amerika yang setara Rp18 miliar kepada Djuyamto.
“Kemudian oleh DJU [Djuyamto] dibagi 3 di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Selatan,” ujarnya.
Porsi pembagiannya yakni Agam Syarif Baharuddin mendapat setara Rp4,5 miliar, Djuyamto setara Rp6 miliar yang dari jatah ini Djuyamto memberikan Rp300 juta panitera, serta Ali Muhtarom setara Rp5 miliar.
“Sehingga total seluruhnya yang diterima Rp22 miliar,” kata Qohar.
Ketiga hakim tersebut mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut, yakni agar perkara tersebut diputus ontslag dan pada tanggal 19 Maret 2025 perkara tersebut diputus ontslag.
Kejagung lantas menelisik putusan atau vonis janggal majelis hakim. Lalu melakukan penyelidikan dan ditingkatkan ke tahap penyidikan setelah menemukan bukti permulaan yang cukup.
Singkat cerita, Kejagung menetapkan 8 orang tersangka dan telah menahan mereka. Awalnya, Kejagung menetapkan 4 tersangka di antaranya Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel) yang sebelumnya Wakil Ketua PN Jakpus, Muhammad Arif Nuryanta.
Kemudian, Panitera Muda Perdata pada PN Jakarta Utara (Jakut), Wahyu Gunawan; dan dua orang advokat atau pengacara, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto.
Setelah itu, Kejagung menambah 3 orang tersangka dari kalangan hakim PN Jakpus yang memutus bebas ketiga terdakwa korporasi tersebut, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Teranyar, penyidik Pidsus Kejagung menetapkan Head of Social Security Legal PT Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY), sebagai tersangka.
Adapun peran para tersangka yakni, advokat atau pengacara Ariyanto, Marcella Santoso, dan Muhammad Syafei selaku pemberi suap setara Rp60 miliar. Sedangkan Muhammad Arif Nuryanta, Wahyu Gunawan, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom selaku penerima suap.
Kejagung menyangka Marcella Santoso, Ariyanto, dan Muhammad Syafei melanggar Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 Ayat (1) juncto Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian Muhammad Arif Nuryanta disangka melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 11 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom disangka melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 B juncto Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.Sedangkan Wahyu Gunawan disangka melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 12 huruf b juncto Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 18 juncto Pasal 11 juncto Pasal 12 huruf B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Hukum
Ade Ratnasari Siapkan Bukti Kuat, Perkara Penggelapan PT Indo Bali Indah Properti, Terlapor Resmi Disidik
Wartahot – Perkara dugaan penggelapan dalam jabatan yang dilaporkan oleh Direktur PT Indo Bali Indah Properti, Ade Ratnasari, terhadap seseorang berinisial HRB, resmi ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke tahap penyidikan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Bali.
Kasus ini bermula dari Laporan Polisi Nomor: LP/B/801/XI/2024/SPKT/POLDA BALI, tanggal 20 November 2024, yang menunjuk HRB sebagai terlapor.
Ade Ratnasari, selaku Direktur PT Indo Bali Indah Properti, menyatakan dukungannya penuh terhadap langkah penyelidikan yang dilakukan Polda Bali. Lebih lanjut, pihak perusahaan berencana untuk membawa perkara ini ke ranah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), mengingat adanya dugaan aliran dana perusahaan yang mencurigakan.
“Tindakan selanjutnya, kami akan mendorong pengembangan perkara ini ke TPPU. Aliran dana diduga masuk ke beberapa perusahaan yang tidak memiliki kaitan atau kerja sama dengan PT Indo Bali Indah Properti. Selain itu, kami juga menduga dana tersebut masuk ke rekening pribadi kekasih terlapor berinisial DMD,” tegas Ade Ratnasari.
Ade Ratnasari berharap Polda Bali dapat menindaklanjuti kasus ini dengan serius dan tuntas agar tidak menimbulkan korban-korban lainnya. Ia juga mendesak agar pihak kepolisian segera menetapkan terlapor HRB sebagai tersangka. Pihak perusahaan dilaporkan telah menyiapkan sejumlah bukti yang kuat untuk mendukung proses hukum ini.
Ancaman Hukuman Berlapis
Perkara ini berpotensi menjerat terlapor dengan ancaman hukuman pidana penggelapan dalam jabatan. Berdasarkan Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama, ancaman hukuman pidana penjara paling lama adalah 5 tahun. Ancaman serupa juga diatur dalam KUHP baru (UU 1/2023) yang berlaku mulai 2 Januari 2026, yaitu Pasal 488 dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Sementara itu, rekanan HRB, DMD, wanita yang diduga menerima aliran dana perusahaan dari rekening milik PT Indo Bali Indah Properti, juga berpotensi menghadapi ancaman serius terkait TPPU. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang TPPU, pelaku aktif yang memberikan keuntungan dari harta kekayaan hasil tindak pidana terancam:
- Pidana penjara paling lama 15 tahun.
- Denda Rp2 miliar hingga Rp5 miliar.
Langkah pelaporan dan rencana pengembangan ke TPPU ini menunjukkan keseriusan PT Indo Bali Indah Properti dalam menuntut pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami perusahaan serta upaya pencegahan agar praktik serupa tidak terulang dan merugikan pihak lain.
Hukum
Dugaan ‘Bermain’ Berat Kargo Haji: Celah Pengawasan yang Mengancam Reputasi Pos Indonesia
Jakarta – Di tengah euforia kepulangan petugas haji yang telah tuntas mengemban tugas di Tanah Suci, terselip sebuah isu yang menyoroti integritas salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor logistik. Dugaan penyimpangan dalam pengelolaan pengiriman kargo haji oleh PT Pos Indonesia (Persero) kembali mencuat ke publik, kali ini bahkan telah masuk dalam laporan resmi kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Persoalan ini berakar dari niat baik yang berujung pada praktik yang diduga melanggar aturan. Musim haji 2025 seharusnya membawa kabar gembira bagi para petugas yang mengharapkan fasilitas pembebasan biaya pengiriman satu koli paket per orang—sebuah kebijakan yang pernah mereka nikmati pada tahun-tahun sebelumnya. Aspirasi ini kemudian mendapat respons, meski hanya berupa kesepakatan informal di internal tim pengelola kargo haji.
Ketika Niat Baik Tersandung Angka Fiktif
Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) mengungkapkan bahwa proses pencatatan paket bagi petugas yang memenuhi syarat justru menjadi pintu masuk dugaan manipulasi. Paket-paket tersebut diinput ke dalam sistem logistik perusahaan dengan berat yang seragam dan tidak masuk akal: hanya 1 (satu) kilogram.
Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi yang sangat berbeda. Sebagian besar paket, yang berisi oleh-oleh dan barang bawaan dari Arab Saudi, secara kasat mata memiliki berat jauh melebihi angka fiktif tersebut.
Ketua Umum KAKI, Arifin Nur Cahyo, tanpa ragu menyebut modus ini sebagai dugaan rasuah yang sistematis. “Data bagasi dibuat hanya seberat 1 Kg, padahal dari data riil itu mencapai 30 Kg. Kasus ini terjadi banyak dan masif,” tegas Arifin pada Senin (22/9/2025).
Dugaan kecurangan yang terorganisir ini, menurut KAKI, sangat merugikan PT Pos Indonesia sebagai perusahaan pelat merah dan berpotensi merugikan keuangan negara dari selisih ongkos kirim yang seharusnya dibayarkan.
Sorotan pada Akuntabilitas BUMN
Kasus ini tak sekadar tentang selisih berat, melainkan juga cerminan lemahnya pengawasan internal di lingkungan perusahaan negara. Ketika tim inspeksi lapangan melakukan uji petik setibanya paket di Indonesia, terungkap selisih berat yang signifikan. Fakta ini, yang kemudian dilaporkan kepada Direktorat Operasional, menunjukkan adanya celah besar dalam sistem validasi data logistik.
Sebagai BUMN, PT Pos Indonesia wajib tunduk pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan memiliki tanggung jawab ganda: melayani kepentingan publik sekaligus menjaga integritas internalnya. Manipulasi data logistik, apalagi yang menyangkut paket-paket petugas haji—simbol pelayanan publik—dapat mengikis kredibilitas dan kepercayaan masyarakat.
Menanti Keterbukaan dan Sikap Kooperatif
Hingga kini, PT Pos Indonesia memilih pasif dan belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait laporan yang telah masuk ke Kejaksaan Agung. Sikap ini memicu reaksi keras. Ketua KAKI, Arifin, mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa untuk mendesak aparat penegak hukum segera memproses laporan tersebut, mengingat dugaan fraud ini dinilai dilakukan secara sistematis.
Kasus dugaan manipulasi kargo haji ini menjadi pengingat yang menyentuh bagi seluruh perusahaan negara. Integritas sistem operasional perusahaan tidak hanya diuji oleh efisiensi, tetapi juga oleh transparansi dan akuntabilitas. Setiap penyimpangan, sekecil apa pun, berpotensi merusak fondasi tata kelola yang sehat dan menggerus kepercayaan publik.
Laporan KAKI ke Kejaksaan Agung kini membuka babak baru dalam upaya menuntut akuntabilitas BUMN, menegaskan bahwa publik menantikan jawaban dan langkah korektif yang menyeluruh, bukan sekadar penyelesaian internal yang tanpa tindak lanjut.
Hukum
Kasus Pemerkosaan di Palopo: Pelaku Sudah Jadi Tersangka, Ade Ratnasari Tegaskan Tutup Pintu Damai
Palopo – Seorang perempuan berinisial RS (22), warga Kelurahan Tobulung, Kecamatan Bahara, Kota Palopo, menjadi korban dugaan pemerkosaan oleh pamannya sendiri berinisial J. Peristiwa itu terjadi dua kali, yakni pada Jumat (16/9/2025) dan Minggu (21/9/2025).
Laporan korban diterima kepolisian pada Selasa (23/9/2025) pagi sekitar pukul 10.30 WITA melalui Bhabinkamtibmas Kelurahan Rampoang. Tak lama kemudian, sekitar pukul 12.40 WITA, informasi keberadaan pelaku di Kelurahan Mancani diteruskan ke aparat. Tim dari Polsek Wara Utara yang dipimpin Kanit Intelkam Aiptu Puku berhasil mengamankan pelaku.
Dalam pemeriksaan awal, J mengakui perbuatannya. Kini ia telah ditetapkan sebagai tersangka dan pada 25 September 2025 dipindahkan ke Lapas Kota Palopo untuk proses hukum lebih lanjut.
Sikap tegas datang dari pihak keluarga. Ade Ratnasari, kakak kandung korban sekaligus pengacara ternama, menegaskan keluarga Achmad Nangga menolak segala bentuk mediasi atau perdamaian.
“Saya selaku mewakili keluarga besar, Ahmad Nangga, menolak adanya upaya atau mediasi dari pihak pelaku pemerkosaan untuk berdamai. Sangat amat menutup jalur perdamaian karena kasus ini akan tetap berlanjut hingga pengadilan memutuskan berapa lama hukuman yang akan dijalani oleh pelaku. Jadi tidak ada lagi negosiasi atau mediasi atau apapun itu. Kasus akan tetap berjalan. Tidak ada perdamaian. Siapapun keluarga dari pihak pelaku yang berupaya untuk melakukan mediasi, lebih baik urungkan niatnya. Sebab jika masalah ini menimpa mereka, saya rasa mereka akan tahu jawabannya,” tegas Ade Ratnasari.
Ade juga menyebut kasus ini adalah tindakan biadab dan menyakiti martabat keluarga. Untuk itu, ia memastikan telah menyiapkan tiga pengacara yang akan mendampingi korban selama proses hukum berjalan.
“Tutup pintu damai! Kami siapkan pengacara ternama agar pelaku pemerkosaan terjerat pasal berlapis,” ungkapnya.
Di sisi lain, Ade Ratnasari memberikan apresiasi kepada aparat kepolisian yang bergerak cepat dalam menangani kasus ini.
“Kami sangat mengapresiasi langkah cepat Kapolres Palopo, AKBP Dedi Surya Dharma, S.H., S.I.K., M.M., bersama jajarannya serta Kapolsek Wara Utara (Waru), Ipda Sididi, yang sigap mengamankan pelaku. Ini menjadi bukti bahwa aparat serius dalam melindungi masyarakat dari tindakan kriminal seperti ini,” ucap Ade.
-
News6 days agoZecky Alatas Kritik Presiden Terlalu Sabar pada Menteri yang Menyalahi Aturan
-
Hukum3 weeks agoDugaan ‘Bermain’ Berat Kargo Haji: Celah Pengawasan yang Mengancam Reputasi Pos Indonesia
-
Entertainment4 weeks agoMonster Series Serum dari SHiNE2GeTHER: Skincare Lokal, Standar Internasional
-
Infotainment4 weeks agoKehamilan 3 Bulan, Lina Mukherjee dan Luca Siapkan Pesta Gender Reveal di Pulau Seribu
-
Infotainment4 weeks agoIntip Perawatan Artis di Klinik Kecantikan Dr. Hanna Djunadi, Rey Savero dan Dika Ogah Rasakan Hasil Instan
-
Infotainment4 weeks agoUlang Tahun ke-39, Dokter Hanna Rayakan dengan Hangat Bersama Mak Vera dan Sahabat Artis
-
News4 weeks agoHari Paru Sedunia, PDPI: Paru Sehat Hidup Sehat
-
Infotainment3 weeks agoWow! Nayyara Azarine Ajak Remaja Lestarikan Batik di Hari Batik Nasional
