Sosial
Anissa Quinn Deanda, Siswi SMPN 95 Jakarta Utara yang Aktif dan Penuh Prestasi
Jakarta — Sosok muda penuh semangat dan inspiratif datang dari Jakarta Utara. Dialah Anissa Quinn Deanda, siswi SMPN 95 Jakarta Utara yang baru berusia 14 tahun kini tengah menjadi perwakilan sekolahnya dalam ajang Bintang Sobat SMP, sebuah kompetisi yang mengasah bakat, kepercayaan diri, dan kepemimpinan para siswa seluruh Indonesia.
Tak hanya cerdas dalam akademik, Quinn juga dikenal aktif berorganisasi sejak dini. Di lingkungan sekolah, ia sering dipercaya memegang peran penting dalam berbagai kegiatan siswa. Kepiawaiannya dalam memimpin dan bekerja sama membuat Quinn menjadi panutan bagi teman-temannya.
Selain aktif di sekolah, Quinn juga sudah menjajal dunia modeling dan periklanan. Ia pernah terlibat dalam beberapa proyek iklan produk komersil, membuktikan bahwa dirinya mampu tampil percaya diri baik di atas panggung maupun di depan kamera.
Dengan semangat belajar tinggi, kepribadian yang ramah, serta segudang aktivitas positif, Anissa Quinn Deanda menjadi contoh pelajar muda yang patut dibanggakan. Tak heran, keikutsertaannya di ajang Bintang Sobat SMP mendapat dukungan penuh dari keluarga, sekolah dan lingkungan sekitarnya.
Dengan segala potensi yang dimilikinya, masa depan cerah tampaknya sudah mulai digenggam oleh Quin. Semoga langkah-langkah awal ini membawa lebih banyak pengalaman dan prestasi ke depannya.
News
Ritual Tahunan: Bencana, Korban Jiwa, Lalu… ‘Akan Kami Panggil’
OPINI | Giostanovlatto
Founder, Hey Bali
Tragedi Sumatera bukan sekadar kecelakaan alam, tapi bukti berulangnya kegagalan manajemen risiko lintas rezim. Ketika peringatan tidak diindahkan dan koordinasi hanya bekerja setelah korban berjatuhan, kita harus bertanya: sampai kapan negara bergerak hanya setelah bencana terjadi?
“Pekan depan, kami akan panggil delapan perusahaan.”
Kalimat yang keluar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa hari lalu seharusnya terdengar tegas. Berwibawa. Sebuah sinyal bahwa negara hadir dan siap menegakkan hukum.
Tapi di telinga publik yang telah terlalu sering mendengar janji serupa, kalimat itu justru terasa seperti naskah lama yang diputar ulang. Sebuah ritual kata-kata yang akrab dan, jujur saja, kosong. Ia datang terlambat—setelah tanah longsor dan banjir bandang mengubur hidup ratusan keluarga di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Setelah lebih dari 700 nyawa melayang, ribuan rumah hancur, dan seisi negeri berkabung.
Di tengah bau anyir lumpur dan duka yang masih menyengat, sebuah pertanyaan pahit menggema: Mengapa panggilan ‘tegas’ itu selalu, selalu, datang setelah kuburan-kuburan mulai dipenuhi?
TRAGEDI SAAT INI: “PEMANGGILAN” DI TENGAH NISAN
Gambaran yang datang dari Sumatera pekan-pekan ini mirip adegan film bencana. Air yang bukan lagi air, melainkan lumpur hitam pekat bercampur pepohonan tumbang dan puing-puing, menyapu desa, jembatan, dan jalan. Korban jiwa melonjak dari puluhan menjadi ratusan dalam hitungan hari. Evakuasi berjalan lambat karena akses terputus. Ini adalah bencana hidrometeorologi dalam skala yang mengerikan.
Dan di tengah hiruk-pikuk tanggap darurat, muncul lah pernyataan resmi: pihak berwenang akan “memanggil” delapan perusahaan perkebunan dan kehutanan yang arealnya diduga berkontribusi pada bencana.
Respon ini, dengan segala formalitas birokratisnya, seakan ingin mengatakan, “Lihat, kami bertindak!”
Namun, yang dirasakan justru sebaliknya. Ini bukan tindakan. Ini adalah rutinitas. Sebuah pola respons baku yang telah terpateri dalam DNA birokrasi kita: Tragedi -> Publik Berduka -> Pemerintah “Bergerak Cepat” -> Panggilan, Janji, Tim -> Lupa -> Pengulangan.
Kita tidak sedang menyaksikan penanganan sebuah krisis. Kita sedang menyaksikan gejala dari sebuah penyakit kronis: Sindrom Respons-Krisis (Crisis-Response Syndrome). Sebuah kondisi di mana negara hanya mampu bergerak sebagai pemadam kebakaran, setelah rumah rakyat sudah menjadi abu.
BUKU PEDOMAN NASIONAL: SEJARAH PEMERINTAHAN YANG REAKTIF, BUKAN PROAKTIF
Untuk memahami bahwa kasus Sumatera bukanlah kelainan, melainkan pola, kita perlu membuka lembaran sejarah yang muram. Pola “tindakan setelah korban berjatuhan” adalah buku pedoman tak tertulis yang berlaku lintas rezim, lintas kepemimpinan, dan lintas pulau.
Kasus 1: Banjir Jakarta, Siklus Abadi.
Setiap tahun, ibu kota negara ini seperti menjalani ritual tahun baru yang kelam: banjir. Setelah air surut, proyek “normalisasi” sungai dan wacana giant sea wall mendadak ramai dibicarakan. Pejabat berjanji, anggaran digelontorkan. Tapi pertanyaannya selalu sama: Di mana ketegasan penegakan hukum tata ruang sebelum musim hujan? Di mana pengawasan ketat terhadap pengurukan wilayah resapan dan penyempitan aliran sungai yang terjadi sehari-hari? Aksi selalu datang setelah kota tenggelam, bukan untuk mencegahnya tenggelam.
Kasus 2: Kabut Asap Lintas Batas, Bisnis Seperti Biasa.
Sejak era 1990-an, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatra dan Kalimantan telah menjadi krisis tahunan. ASEAN sudah berkali-kali mengeluh. Setiap kali langit di Riau atau Jambi menjadi kuning-oranye dan kualitas udara mencapai tingkat berbahaya, barulah kita menyaksikan operasi gabungan, pemadatan, dan—sekali lagi—”pemanggilan” perusahaan. Selalu setelah negara tetangga protes, sekolah-sekolah diliburkan, dan anak-anak kesulitan bernapas. Proses hukum berjalan lambat, sementara izin-izin baru mungkin saja telah terbit.
Kasus 3: Gempa & Tsunami, Ironi “Pembangunan Kembali”.
Kita sangat heroik dalam membangun kembali. Pasca gempa Palu, tsunami Aceh, atau gempa Lombok, upaya rekonstruksi digaungkan dengan semangat membara. Namun, heroisme itu sering menutupi kegagalan mendasar di tahap sebelumnya: penegakan standar bangunan tahan gempa yang masih lemah, sistem peringatan dini yang belum optimal, dan zonasi berbasis risiko yang dikalahkan oleh kepentingan properti.
Benang Merahnya jelas: Dalam pola pikir birokrasi kita, kebijakan sering kali bukanlah alat untuk merancang masa depan yang aman. Ia adalah alat respons terhadap masa lalu yang sudah rusak. Kita adalah ahli dalam berduka dan memperbaiki, tetapi amatir dalam mencegah.
ANATOMI KEGAGALAN: MENGAPA SISTEM INI BEGINI ADANYA?
Mengapa negara dengan segudang regulasi, kementerian, dan anggaran ini terjebak dalam siklus yang memalukan ini? Jawabannya bukan pada kejahatan individu, tetapi pada kegagalan sistemik.
- Kalkulasi Politik yang Pendek (Short-Term Political Calculus). Di mata birokrasi dan politisi, bertindak setelah bencana lebih “bermanfaat”. Terlihat heroik, mediatis, dan penuh solidaritas. Bekerja sunyi-senyap mencegah bencana—dengan menolak izin investasi bermasalah, menertibkan bangunan liar di bantaran sungai, atau menindak perusahaan nakal—adalah kerja yang tidak populer. Ia penuh risiko konflik dan tidak menjamin panggung. Lebih mudah menjadi “pahlawan” saat banjir daripada menjadi “pengawas” yang galak saat kemarau.
- Penegakan Hukum yang Tumpul dan Regulatory Capture. Indonesia bukan kekurangan aturan. UU Lingkungan Hidup, AMDAL, aturan tata ruang—semua ada. Masalahnya, penegakannya tumpul dan tidak konsisten. Hukum sering kali tunduk pada kepentingan bisnis (“regulatory capture”). Perusahaan hanya “dipanggil” untuk dimintai klarifikasi, jarang sekali dirugikan secara finansial atau dicabut izinnya secara permanen sejak dini. Hukum baru bergerak setelah bencana menjadi bukti yang tak terbantahkan.
- Birokrasi yang Terkotak-kotak (Siloed Bureaucracy). Lihatlah lembaga-lembaga yang terlibat: KLHK, Kementerian PUPR, BNPB, Pemerintah Daerah, KLHK Provinsi. Masing-masing memiliki wewenang, anggaran, dan kepentingannya sendiri. Koordinasi yang solid biasanya baru tercipta setelah bencana terjadi, dalam bentuk posko gabungan. Tanggung jawab untuk tindakan pencegahan yang proaktif terpecah-pecah, kabur, dan mudah untuk dialihkan.
- Amnesia Publik dan Akuntabilitas yang Lemah. Siklus berita kita cepat. Kemarahan publik atas sebuah bencana biasanya mereda dalam hitungan minggu, digantikan oleh skandal atau isu politik baru. Pejabat yang dianggap gagal mencegah bencana jarang sekali diberi konsekuensi politik yang nyata. Tidak ada pemecatan massal, tidak ada pengurangan anggaran untuk lembaga yang lalai. Kita lupa dengan cepat, dan mereka yang berkuasa tahu itu.
BIAYA MENJADI “PEMADAM KEBAKARAN”: LEBIH DARI SEKADAR KORBAN JIWA
Sindrom ini mahal. Sangat mahal. Biayanya melampaui daftar korban jiwa yang memilukan.
- Biaya Ekonomi yang Boros. Dana tanggap darurat, rehab-rekonstruksi, dan bantuan sosial pasca-bencana selalu berlipat-lipat besarnya dibandingkan anggaran untuk mitigasi dan pencegahan. Kita menguras kas negara untuk membangun kembali apa yang seharusnya bisa kita lindungi. Ini adalah pemborosan kronis yang melemahkan pembangunan.
- Erosi Kepercayaan Publik. Setiap kali ritual “pemanggilan setelah bencana” ini terulang, kepercayaan rakyat terhadap negara dan kapasitasnya mengurus rakyatnya terkikis sedikit demi sedikit. Masyarakat belajar untuk tidak percaya pada janji “tidak akan terulang lagi”. Yang lahir adalah sinisme, rasa tidak berdaya, dan penerimaan bahwa nasib ditentukan oleh alam dan kelalaian penguasa.
- Degradasi Lingkungan yang Tak Terpulihkan. Setiap tragedi banjir bandang atau kabut asap adalah puncak gunung es. Di bawahnya, terjadi degradasi lingkungan harian yang dibiarkan: penggundulan hutan, alih fungsi lahan, pencemaran sungai. Kita sibuk memulihkan korban, sementara akar penyakitnya—kerusakan ekosistem—terus berlanjut, seringkali secara legal.
MEMUTUS RANTAI: DARI “PENGGALI KUBUR” MENJADI “PENJAGA”
Lalu, adakah jalan keluar? Atau kita hanya bisa pasrah pada siklus ini? Jalan keluar itu ada, tetapi ia membutuhkan perubahan radikal dalam logika bernegara.
- Mengubah Insentif: Ukur Kinerja dari Pencegahan. Sistem penilaian kinerja pejabat dan lembaga harus diubah. Berikan bobot besar pada indikator pencegahan: berapa banyak pelanggaran AMDAL yang ditindak sebelum operasi? Berapa persen peningkatan kualitas air sungai? Berapa banyak masyarakat yang telah dilatih dan diikutsertakan dalam sistem peringatan dini? Jadikan “zero disaster” sebagai tujuan, bukan “cepat tanggap saat disaster”.
- Hukum yang Mencengkeram Sebelum Bencana. Penegakan hukum harus bergeser dari mode reaktif ke proaktif. Cabut izin, berikan denda yang membuat jera, dan proses pidana terhadap korporasi yang melakukan pelanggaran berat sejak dini, ketika risikonya baru teridentifikasi, bukan setelah malapetaka terjadi. Hukum harus menjadi penjaga yang galak, bukan tukang bersih-bersih.
- Memperkuat Lembaga “Penjaga”, Bukan Hanya “Pemadam”. Alokasikan sumber daya dan kewenangan yang memadai—dan yang terpenting, perlindungan politik—kepada lembaga pengawas lingkungan, tata ruang, dan kebencanaan. Mereka harus menjadi tulang punggung negara preventif.
- Menuntut Ingatan Kolektif: Jadikan Isu Pemilu. Media, masyarakat sipil, dan kita semua harus menolak amnesia. Setiap bencana yang terjadi harus dikaitkan dengan janji-janji pasca-bencana sebelumnya. Tuntut pertanggungjawaban. Jadikan rekam jejak pencegahan bencana sebagai isu utama dalam setiap pemilihan, dari tingkat desa hingga presiden.
Kesimpulan: Sebelum Kuburan Berikutnya
Pemanggilan delapan perusahaan pekan depan mungkin akan menghasilkan berita utama, denda administratif, atau proyek tanggung jawab sosial perusahaan. Mungkin juga hanya akan menghasilkan notulen rapat yang lalu tersimpan rapi.
Namun, selama logika pemerintahan kita tetap bereaksi pada bau anyir kuburan, bukan pada laporan analisis risiko, pengawasan lapangan, dan teriakan para aktivis lingkungan yang memperingatkan bahaya; selama kita lebih memilih ritual “pemanggilan” daripada tindakan pencegahan yang tidak populer—maka kita semua, sebagai bangsa, hanya sedang menunggu.
Kita menunggu graveyard berikutnya.
Pertanyaannya bukan apakah bencana serupa akan terulang. Pertanyaannya adalah: di provinsi mana, berapa ribu keluarga lagi yang akan kehilangan tempat tinggal, dan berapa banyak nama lagi yang akan terpahat di nisan.
Sosial
Sedang Viral, Tokoh Utama Relief Borobudur Ternyata Semar
resensi buku
Buku “Sri Buddha #1: Karena Hari Ini Tumbuh Masa Lalu”, karya Wenri Wanhar sedang menjadi perbincangan hangat. Sehangat kopi susu yang dihidangkan di pasar rakyat.
Pasalnya, buku yang baru saja terbit November 2025 ini menawarkan narasi yang tidak biasa.
Pertama, dia menyatakan bahwa tokoh utama dalam cerita di relief Mandala Borobudur bernama Indra Jati, pemuncak Sailendra.
Kedua, Indra Jati yang dikenang turun temurun melalui bisik penuh rahasia sebagai leluhur agung di Pulau Sumatera, menurut Wenri, sama dengan sosok Hyang Semar, sosok legendaris pamomong Pulau Jawa.
Ketiga, Indra Jati atau Semar, sebagai pemuncak Wangsa Sailendra adalah sang pembawa kabar, pembawa ajaran. Yakni ajaran Buddhi. Benih ajaran yang lahir dan tumbuh di negeri lautan selatan, selapis negeri yang hari ini bernama Indonesia.
Ini jelas bukan sembarang narasi. Ini narasi baru.
Buku setebal 117 halaman ini merupakan serial pertama dari rangkaian serial Sri Buddha. Bila tak ada aral melintang, SRIBUDDHA #2 akan segera rilis di bawah judul LINGGA YONI SRIWIJAYA.
Sejauh mana kebenaran ceritanya, Wenri sendiri mengakui, “kita tidak pernah merasa paling benar. Kalau lah ada kebenarannya, itu hanyalah umpama segenggam daun di antara rimbunnya daun di hutan. Sebab, bila kita merasa paling benar, maka pendapat di luar kita akan ada saja salahnya. Sementara, ajaran Buddhi mengajarkan, bila kita berani menyalahkan orang lain, sebenarnya kita sudah salah duluan.”
Wenri membuka kisah di buku ini seperti orang baru bangun dari tidur. Dia menceritakan mimpi-mimpi.
Seperti apa mimpinya?
Anda bisa langsung membaca buku kecil setebal 117 halaman yang dikisahkan dengan bahasa ringan setarikan nafas.
Edisi cetakan pertama, November 2025 sudah mulai beredar di pasaran. (*)
penulis buku : Wendri Wanhar
Budaya
Viola Azhira Widyansari Sabet Gelar Winner Puteri Batik Remaja Indonesia 2025
Wartahot – Kabar membanggakan datang dari dunia pageant remaja. Viola Azhira Widyansari, siswi kelas 12 SMAN 28 Jakarta, berhasil membawa pulang gelar Winner Puteri Batik Remaja Indonesia 2025 pada ajang bergengsi yang digelar Sabtu, 1 November 2025.
Ajang ini diikuti oleh para finalis dari berbagai daerah di Indonesia. Setelah melewati masa karantina sejak 29 hingga 31 Oktober, para peserta tampil di malam grand final yang berlangsung di Gedung Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, dengan sesi penilaian awal di Yello Hotel Harmoni.
Sebelum melangkah ke tingkat nasional, Viola lebih dulu mewakili DKI Jakarta sebagai Puteri Remaja Indonesia Jakarta Budaya 2025. Dari sana, ia sukses melangkah lebih jauh dan membawa pulang dua gelar sekaligus — Puteri Batik Remaja Indonesia Favorit dan Winner Puteri Batik Remaja Indonesia 2025.
Penampilan Viola malam itu mencuri perhatian. Gayanya yang anggun dipadukan dengan pengetahuan mendalam soal filosofi batik membuat juri terpukau.
“Batik bukan hanya kain, tapi identitas dan kebanggaan bangsa. Saya ingin menginspirasi remaja lain untuk mencintai dan memakai batik dalam keseharian,” ujar Viola dengan penuh semangat setelah dinobatkan sebagai pemenang.
Viola juga mengaku bangga bisa tampil mengenakan batik hingga ke kancah internasional. Ia berharap suatu saat bisa memperkenalkan batik Indonesia lebih luas lagi ke dunia lewat ajang internasional, termasuk di dunia pageant.
Dengan kemenangannya ini, Viola Azhira Widyansari diharapkan bisa menjadi sosok inspiratif bagi remaja Indonesia — membawa semangat cinta budaya, sekaligus menunjukkan bahwa anak muda Jakarta bisa berprestasi dan membanggakan di tingkat nasional maupun global.
-
News4 weeks agoAde Ratnasari Memutuskan Mundur dari PT Indo Bali, Sampaikan Kekecewaan atas Pemenuhan Hak sebagai Direktur
-
News3 weeks agoPutri Ariyanti Haryo Wibowo Resmi Laporkan Direktur PT Sup ke Polda Bali
-
Ekonomi3 weeks agoHey Bali Hadirkan Layanan Praktis bagi Wisatawan: Dari Adaptor Gratis hingga Bantuan Barang Tertinggal
-
Infotainment2 weeks agoVirgoun Jadi Sorotan, Eks Istri Inara Rusli Dilaporkan atas Dugaan Skandal Asmara!
-
Sosial3 weeks agoSedang Viral, Tokoh Utama Relief Borobudur Ternyata Semar
-
Entertainment3 weeks agoTeresa Sylviliana Rayakan Ulang Tahun dengan Musik Baru dan Aksi Berbagi, Setelah Pecahkan Rekor di Usia 10 Tahun
-
Infotainment2 weeks agoRasakan Sensasi Tokyo Lewat VR: “Walk Tokyo: Virtual Journey” Hadir di Mall of Indonesia, Gratis untuk Semua Pengunjung
-
News3 weeks agoPolri Tindak Tegas Kasus Penganiayaan di Depok, Wujud Konsistensi Penegakan Hukum dan Pelayanan Masyarakat
